HUKUMAN DIMULAI
Sekitar setengah jam telah berlalu. Kini mereka kembali mendapatkan
Ratih yang menanti dengan setia di tempatnya semula, tidak bergeming.
Lisa melangkah mengitari Ratih beberapa kali. Meskipun sudah melihat
contoh-contoh dari foto yang disimpan Surya di hardisk-nya, dia masih
agak bingung akan memulai dari mana. Melihat kebingungan Lisa itu,
Surya berinisiatif untuk memulainya.
"Baiklah, kita mulai saja dengan penobatan dia sebagai budakmu,
oke?" cetus Surya. "Seperti kamu lihat, saya sudah menyiapkan beberapa
peralatan di sana. Mari kita lihat apa yang dapat kita pergunakan saat
ini." ajaknya sambil beranjak hendak menuju ke tengah ruangan.
Namun Lisa segera menggeleng, "Tidak perlu, Pak Surya!" cegah Lisa
yang segera ditukas oleh Surya, "Surya saja, tidak usah pakai Pak!
Cukup panggil aku Surya, bukankah sekarang posisimu menggantikannya
sebagai istriku?"
"Baiklah.., hmm.., kalau begituu.., bagaimana kalau aku panggil Pa..?" tanya Lisa mesra.
"Itu lebih bagus. Oh ya, apa yang Mama maksud tidak perlu tadi?" tanya Surya meminta penjelasan.
Lisa tersenyum. "Mmm.., Mama pikir.., kita tidak perlu repot-repot, Pa! Biarkan budak kita yang mengambilkannya."
Kemudian dia mengalihkan pandangan ke arah Ratih, "Budak?"
Ratih yang sedang tertegun mendengarkan percakapan mesra kedua orang itu, terlonjak kaget.
"Ya, eh, iya, apa Nyonya?" sahutnya menantikan perintah.
Lisa merentangkan kaki dan berkacak pinggang di hadapan Ratih.
Meski bibirnya berhiaskan senyuman, namun sorot matanya nyata-nyata
memancarkan cemoohan.
"Tuan dan Nyonyamu ini ingin melihat melihat apakah ada di antara
perlengkapan di sana itu yang pantas untukmu." Kalimat itu begitu
menusuk hati Ratih.
"Hmm., sebagai majikan yang baik, tentu saja kami tak ingin
kulitmu polos tanpa sehelai benang pun. Sepertinya kami akan dapat
memilihkan sesuatu yang sesuai untukmu, benar begitu, Pap..?"
Surya mengangguk membenarkan sambil turut tersenyum.
"Budak yang baik tentunya akan dengan senang hati melayani Tuan dan Nyonyanya, iya kan..?"
Tanpa memiliki pilihan lain, Ratih mengangguk. Lisa tampak puas.
"Pintar..! Nah, kalau begitu mau kan mengambilkan semuanya ke sini?"
"Baik Nyonya!" sahut Ratih patuh, penuh kepasrahan.
Dia segera bangkit melaksanakan titah. Tubuhnya bergidik ngeri
ketika mengangkat tumpukan perlengkapan tersebut. Dia harus bolak-balik
hingga dua kali untuk memindahkan seluruhnya. Setelah itu dia duduk
bersimpuh di hadapan mereka.
"Ck, ck, ck..!" Lisa berdecak kagum melihat kepatuhan Ratih dan kelengkapan peralatan yang telah dipersiapkan Surya.
"Aha.., sepertinya ini akan cocok untukmu!" katanya sambil memungut rantai anjing, "Coba kita tes!"
Lisa mendekati Ratih dan membelitkan sabuk kulit pada ujung rantai tersebut ke leher Ratih, lalu mengancingkannya.
"Bagaimana, Pa? Bagus..?" tanyanya sambil menarik rantai tersebut hingga kepala Ratih terdongak ke atas.
"Tentu saja, Sayang! Itu memang sudah sepatutnya."
"Papa tahu, kenapa Mama pilih yang ini?" tanya Lisa disambut gelengan kepala Surya.
Lisa menyeringai penuh ejekan, "Mama sengaja memilihkan ini, karena
Mama sangat terkesan dengan kepatuhan budak kita ini. Mama ingat-ingat,
kayaknya yang paling patuh dan setia di dunia ini, kok ya hanya anjing.
Jadi sebagai hadiah untuk kepatuhan dan kesetiaannya itu, Mama memilih
untuk menghadiahkannya kalung ini."
Ratih betul-betul merasa terhina. Tega benar wanita itu
merendahkan dirinya, bahkan dipersamakan dengan binatang, anjing lagi!
Dan Surya sama sekali tidak menunjukkan keberatannya.
"Mirip enggak, Pa?" tanya Lisa lagi.
"Tentu..! Ha, ha, ha.. Mama pintar sekali! Kita memang harus
memberikan hadiah yang pantas untuk kesetiaannya. Rantai itu akan
selalu mengingatkannya pada posisinya!" Surya membenarkan.
"Bagaimana, Budak! Kamu suka?"
Ratih diam dalam kebingungannya pada pertanyaan Lisa itu. Dia paham
benar bahwa mereka sengaja sedang mempermainkannya. Jadi mereka bukan
mengharapkan jawaban yang sesungguhnya, melainkan jawaban yang dapat
memuaskan rasa berkuasa mereka. Dan kalau ingin selamat, maka dia harus
memberikan yang mereka minta.
"He, jawab! Apa kamu bisu?" bentak Surya.
"Eh, ya.., ya, suka! Mmm.., ya! Iya, iya.., saya suka." Air matanya
kembali meleleh menghadapi ketidakberdayaannya, "Apa saja yang Tuan dan
Nyonya suka." sahutnya terbata-bata.
"Ha ha ha..! Dia suka, Ma! Ha, ha, haa..! Dia suka! Dia suka
menjadi anjing, ha, ha, ha..!" Surya tertawa girang mendengar jawaban
itu.
Lisa turut tertawa dan mengelus-elus kepala Ratih. "Kalau begitu bilang apa..?" tanyanya.
"Terima kasih, Nyonya.., terima kasih!"
"Ha, ha, ha..!"
"Aku jadi ingin jalan-jalan. Oh, iya, aku kan belum mengenal rumah ini." Lisa kembali berkata setelah tawa mereka reda.
Dipungutnya pemukul nyamuk dan mengibas-ngibaskannya di udara.
"Ayo, budak yang baik, mau kan kamu menunjukkan ruangan-ruangan rumah ini kepada Nyonyamu?"
Ratih mengangguk dan bangkit hendak menunjukkan jalan.
"Et, et, et.., tidak!" sergah Lisa, "Tidak begitu! Tidak usah berdiri. Mana ada anjing jalan berdiri?" larangnya.
Dengan menahan rasa perih di hati, Ratih mulai merangkak ke arah
dapur. Namun Lisa menarik ujung rantai di tangannya, sehingga lehernya
agak tercekik. Ratih berhenti dan memandang Lisa dengan bingung.
"Bukan kesitu! Pertama-tama aku ingin ke kamarku dulu. Ayo, tunjukkan yang mana kamarku!"
"Maksudnya?" tanya Ratih sambil memandang Surya.
"Kamar yang biasa aku tiduri, Goblok! Bodoh banget, sih! Tentu saja Nyonyamu akan tidur di kamar Tuanmu!" tandas Surya.
Ratih lalu melangkah menuju kamar tidurnya selama ini. Lisa
mengikuti di belakangnya sambil terus memegang ujung rantai itu,
diiringi Surya. Tangan kiri Surya memeluk pinggangnya dengan mesra.
Lisa tersenyum dan balas memelukkan tangan kanannya ke pinggang Surya.
Setelah tiba di kamar, Lisa melangkah mendekati meja rias. Dia
menyalakan lampu di meja tersebut, kemudian duduk. Diperiksanya satu
per satu perlengkapan rias milik Ratih. Ketika dia melihat sisir yang
tergeletak di meja itu, dia mendapat ide dan menarik rantai di leher
Ratih. Ratih bergerak mendekat. Lisa mengambil sisir tadi dan juga baby
oil, lalu berpindah ke belakangnya. Ditekannya pundak wanita itu ke
lantai, sehingga pantatnya menyembul tinggi di belakang, menungging.
Kemudian dengan menamparkan kakinya ke paha bagian dalam Ratih, dia
menyuruhnya mengangkang. Lisa membalik pegangannya pada sisir itu,
sehingga tidak lagi memegang gagangnya. Selanjutnya dia membungkuk di
dekat pantat Ratih, membuka tutup botol baby oil dan menuangkan
beberapa tetes ke gagang sisir, dan beberapa tetes juga ke anus Ratih.
"Ini akan membuatmu semakin mirip!" kata Lisa sambil memasukkan gagang sisir itu ke lubang anus Ratih.
Ratih menggeliat sakit, namun karena telah dilumuri baby oil, benda itu dapat lolos masuk tanpa terlalu banyak hambatan.
"Nah! Bagaimana Sayang?"
"Kamu memang pintar, Sayang!" sahut Surya, kemudian melanjutkan
pada Ratih, "Kamu sebaiknya berhati-hati agar ekormu itu tidak lepas,
atau.."
"Tenang Pa, dia pasti akan menjaga ekornya dengan sangat baik, bukan begitu Budak?" Lisa menimpali.
"Iya Nyonya!" sahut Ratih.
"Hmm.., kamu senang kan diberikan ekor?"
"Tentu saja.., Nyonya, saya senang. Terima kasih, Nyonya..!" sahut Ratih terbata-bata penuh pertentangan di batinnya.
"Bagus!" sahut Lisa dingin, "Sekarang mari kita teruskan ke ruang lain!"
Mereka kembali melangkah menyusuri setiap ruangan. Namun kini Ratih
mengalami kesulitan dengan gerakannya, karena setiap kali dia
melangkah, terasa ada benda keras yang mendesak-desak anusnya. Surya
dan Lisa menyadari keadaan itu, dan mereka tertawa geli setiap kali
ekor buatan itu bergoyang.
Setelah melangkah beberapa saat, sisir itu terlepas dari tempatnya.
Lisa marah besar dan menyabetkan pemukul nyamuk di tangannya ke kedua
gundukan pantat Ratih berkali-kali. Ratih menyembah-nyembah memohon
ampun, dipungutnya sisir itu dan dipasangkan kembali ke tempatnya
semula sambil menekannya dengan dalam agar tidak terlepas lagi.
Kini mereka berada di teras belakang. Di atas tanah di halaman
belakang itu tampak tiang jemuran. Di sudut kiri teras terdapat mesin
cuci, dan di sudut kanan terdapat meja setrika. Lisa mengarahkan Ratih
menuju ke mesin cuci. Di dekatnya itu ada keranjang kecil yang penuh
berisi penjepit pakaian, terbuat dari plastik. Surya memandangi jepitan
itu dengan serius, melirik ke arah Ratih. Kemudian dia kembali
memandangi jepitan itu sambil mememencet-mencet gagangnya. Mendengar
suara jepitan itu, Lisa menoleh kepada Surya.
"Kenapa, Pa?" tanyanya heran.
"Hmm.., enggak. Papa cuma sedang memikirkan ini." sahut Surya sambil menunjukkan jepitan yang dipegangnya.
Dia diam beberapa saat, kemudian melanjutkan, "Gimana ya, bisa enggak ini dipakai?"
Lisa mengembangkan senyum menangkap maksud Surya, "Oh, maksud Papa
seperti yang di foto tadi itu?" sahutnya manis. "Bisa, dong! Kita coba
saja, bagus apa enggak."
"Sakit banget enggak ya, Ma?"
Lisa mengambil sebuah, dan mencoba pada pergelangan tangannya
sebelah dalam, namun segera dilepaskan kembali sambil mengaduh, "Aduh!
Lumayan juga, Pa! Di tangan saja sudah sakit kok, apa lagi kalau di
susunya."
Ratih merinding mendengarkan percakapan mereka yang merencanakan
untuk menyiksanya dengan penjepit jemuran itu. Di payudaranya lagi!
Sudah terbayang olehnya rasa sakit yang akan menimpanya. Dia tahu
benar, bahwa sebentar lagi itu akan benar-benar terjadi, walaupun dia
sangat berharap semoga mereka hanya sedang menakut-nakutinya saja.
"Yah, siapa tahu?" pikirnya dengan harap-harap cemas.
Tapi ternyata harapannya meleset. Apa yang dia khawatirkan ternyata benar-benar terjadi.
"Budak! Tuanmu mempunyai hadiah menarik untukmu!" seluruh persendian Ratih terasa lemas mendengar vonis yang telah dijatuhkan.
Sambil tersenyum manis Lisa menyodorkan dua buah jepitan kepadanya.
"Coba, pasangkan masing-masing di tetekmu!"
"Aduh! Ja, jangan Nyonya.. Sakit..!" protes Ratih gemetaran.
"Ayo..!"
Ratih menggeleng berulang-ulang sambil menelungkupkan telapak
tangan menutupi kedua payudaranya, "Jangaann.., ampun, Nya.., aduh,
ampuunn..!"
"Berani kamu membantah, Budak?" kini suara Lisa terdengar dingin penuh ancaman.
"Ampun, tidak berani, Nyonya! Aduh, tapi sakit, Nya..!" rengeknya ketakutan.
Lisa kembali tersenyum dibuat-buat. "Tapi ini perlu untuk
penampilanmu, biar lebih menarik!" bujukannya terdengar begitu
mencemooh.
"Sakit sedikit.., enggak apa-apa, kok.., enggak berdarah." desaknya.
Sikapnya bagaikan seorang ibu yang sedang membujuk anak kecilnya untuk minum obat puyer yang pahit.
"Sakit, Nya, yang lain saja, jangan itu..!" Ratih terus merengek.
"Alaahh.., enggak apa-apa! Ayo cepat!" Surya turut mendesak.
Namun Ratih tetap saja menggeleng-gelengkan kepala sanbil memohon
ampun, menolak melakukannya. Akhirnya Lisa kehabisan kesabaran, dan
membentak, "Sudah! Jangan membantah lagi! Pokoknya kamu harus
memakainya! Soal sakit, itu urusanmu! Sekarang cepat lakukan, atau aku
yang akan memasangkannya! Kalau sampai aku yang melakukannya, maka
semuanya akan kupasangkan di tubuhmu tanpa sisa!" ketusnya, "Sekarang
bagaimana, mau aku yang melakukannya?" ancam Lisa sambil menggerakkan
tangan menjamah keranjang itu.
"Jangan, Nyonya!" cegah Ratih.
"Baiklah! Akan aku lakukan, biar kulakukan sendiri saja, Nyonya!" mohon Ratih sambil menjulurkan tangannya.
Lisa tersenyum menang. Ratih memungut sebuah penjepit, dan dengan menahan napas dipasangkannya di dada kirinya.
"Bukan di situ!" larang Lisa, "Di putingnya!"
"Oghh..!" erang Ratih menahan sakit ketika dia telah memindahkannya
tepat pada puting kirinya. Tubuhnya menggelinjang beberapa saat.
"Teruskan! Yang sebelah lagi!"
Dengan membelalakkan mata menahan sakit dan ngeri, dipungutnya yang
sebuah lagi, dan memasangkan di puting sebelah kanannya. Anak sungai di
kedua pipinya kembali mengalir. Kedua telapak tangannya digenggamkan di
sekitar payudaranya, berusaha mengurangi rasa sakit akibat jepitan itu.
Beberapa saat kemudian dia mulai dapat mengendalikan perasaannya, dan
menyadari betapa kedua orang itu sedang berpelukan mesra sambil
tersenyum-senyum menikmati penderitaannya. Sungai mengalir kian deras.
"Hentikan! Cengeng! Baru dua saja sudah nangis, bagaimana nanti kalau kupasangkan semuanya?"
Bentakan Lisa begitu mujarab menghentikan tangis Ratih. Lisa dan
Surya kemudian mengulurkan tangan menjamah kedua jepitan itu dan
mempermainkannya. Ratih menggeliat kesakitan. Dikepalkan kedua
tangannya sambil menegangkan badan mencoba untuk bertahan.
Tiba-tiba Lisa tersentak, "Oh iya! Puting dan pantatmu sudah
dihias, tidak adil kalau yang satu itu tidak mendapatkan bagian."
katanya seraya memungut dua penjepit lagi, lalu membungkukkan badan dan
memasangkannya pada masing-masing bibir vagina Ratih.
Seringainya kian buas menyaksikan tubuh Ratih yang bergetar hebat menahan rasa perih yang teramat sangat.
Tidak cukup sampai di situ, Lisa kembali mengambil sebuah jepitan,
dan kali ini memasangkannya tepat pada kelentitnya. Tubuh Ratih
berguncang hebat. Kedua kakinya merenggang-renggang kejang.
Pandangannya berkunang-kunang. Hampir saja dia roboh kalau rantai di
lehernya tidak ditarik oleh Lisa untuk menahan tubuhnya. Perlahan Lisa
mengendurkan rantai itu sedikit-sedikit, sehingga Ratih dapat
menurunkan tubuhnya duduk mengangkang di atas lantai.
Dia merasa serba salah, entah bagian mana yang harus diusap-usap
untuk mengurangi sakitnya, karena baik atas maupun bawah keduanya sama
berdenyut-denyut mengantarkan penderitaan yang maha berat. Sempat
terlintas pikiran untuk mencabuti jepitan itu, namun kesadarannya akan
ancaman Lisa menyebabkan dia membatalkan niatnya.