SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini;
Nama: Ratih Puspaningrum
Tempat/tgl. lahir: Cirebon, 15 Maret 1968
Untuk selanjutnya disebut sebagai pihak pertama, merupakan istri sah dari:
Nama: Surya Hadibrata
Tempat/tgl. lahir: Jogjakarta, 27 Juli 1966
Untuk selanjutnya disebut sebagai pihak kedua.
Saya sebagai pihak pertama mengakui secara sadar, bahwa telah
mengkhianati kesucian perkawinan saya dengan pihak kedua dengan
melakukan perbuatan serong bersama seorang laki-laki bernama ANTON
BAGASPATI. Karenanya saya telah menjadikan diri saya lebih hina
daripada pelacur, sebagaimana yang telah saya tuliskan sendiri di badan
saya ini, LONTE.
Menyadari aib yang telah saya lakukan tersebut, saya ikhlas
menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan oleh pihak kedua tanpa
keberatan apapun. Saya menyerahkan diri saya sepenuhnya, jiwa dan raga
ke dalam kendali pihak kedua. Dengan demikian pihak kedua bebas
melakukan segala sesuatu yang dianggapnya perlu terhadap saya, baik
secara jasmani maupun rohani.
Segala perbuatan pihak kedua terhadap saya kelak tidak akan dapat
dituntut baik secara hukum, agama, moral, maupun adat istiadat dan
sebagainya oleh siapapun juga. Dengan ini juga saya mengijinkan pihak
kedua menggunakan peralatan apapun dan juga mengijinkannya melibatkan
siapa pun yang dinginkannya untuk membantu pihak kedua menjatuhkan
hukuman terhadap saya. Pernyataan ini saya buat dalam keadaan sehat
jasmani maupun rohani, serta atas kesadaran saya sendiri tanpa
paksaan/tekanan dari pihak manapun. Karenanya memiliki kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku mulai sejak saat surat ini saya tandatangani.
Ditandatangani di Jakarta, tanggal 25 September 2001,
Pihak Pertama: Ratih Puspaningrum
Pihak Kedua: Surya Hadibrata
*****
Selama membacanya, sesekali Ratih berhenti untuk mengambil napas.
Berulang-ulang dia menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya.
Selesai membacakan surat pernyataan itu, atas perintah Surya dia
mengacungkan surat tersebut di depan dadanya. Surya mengatur zoom agar
dapat menangkap jelas tulisannya. Surya tersenyum puas. Dimatikannya
videocam, dan diambil serta dilipatnya surat itu dengan rapih. Kemudian
dia kembali ke brankas menyimpan surat beserta videocamnya.
Ratih kembali menangis terisak-isak menyesali perbuatannya. Dia
mulai membayangkan hukuman apa gerangan yang kelak akan diterimanya.
Dia bergidik ngeri mengingat kalimat yang dibacakannya tadi, terutama
tentang akan dipergunakannya segala macam peralatan, cara, dan bahkan
melibatkan pihak ketiga. Namun segalanya sudah terlanjur. Dia sudah
memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya bagi Surya untuk
melampiaskan kemarahannya. Ratih menyadari betapa dia telah
menandatangani kematiannya secara perdata. Kini dia harus siap untuk
memulai babak baru dalam kehidupannya.
"Saya harap kamu tidak melakukan kebodohan. Ingat, saya telah
merekam semuanya. Jika kamu melanggar, maka rekaman itu akan saya
sebarkan kepada semua keluarga dan kenalanmu. Bahkan mungkin akan saya
sebarkan juga melalui internet!" ancam Surya mengingatkan, sekembalinya
dari brankas.
Dia tidak mengacuhkan Ratih yang mengganggukkan kepala dengan
cepat, takut kalau-kalau Surya segera melaksanakan ancamannya. Namun
Surya tidak butuh anggukan Ratih. Dia sudah sangat yakin bahwa wanita
itu tidak akan berani berbuat macam-macam.
Surya meninggalkan kamar, menuju ke ruang makan. Diambilnya gelas,
dan setelah diisi dengan air dari dispenser, dibawanya ke ruang tamu.
Surya duduk merenungkan semua kejadian tadi. Lalu dia teringat bahwa
dia harus kembali ke kantor untuk mengembalikan mobil stafnya.
Disamping itu, dia merasa membutuhkan udara segar untuk menenangkan
hatinya.
"Tapi bagaimana kalau saya tinggal? Macam-macam enggak dia nanti?"
pikirnya mempertimbangkan resiko meninggalkan Ratih sendirian di rumah
setelah kejadian ini.
"Ah.., mana dia berani!" Surya menyakinkan diri mengingat dia
telah memiliki senjata ampuh untuk mengendalikannya, surat Pernyataan
dan rekaman video tadi.
"Sebaiknya bukti tersebut kuamankan!" katanya pada diri sendiri.
Surya lalu kembali ke kamar. Ratih yang telah berpakaian lengkap
segera menyongsong kehadirannya sambil berusaha tersenyum dan menyapa
ramah. Surya mengacuhkan sambutannya. Dia langsung menuju brankas
mengambil barang-barang berharga tadi. Lalu dia menekankan agar Ratih
tidak meninggalkan rumah maupun melakukan perbuatan bodoh lainnya
sepeninggalnya nanti. Ratih segera mengiyakan dengan penuh kesungguhan.
Meski agak ragu, Surya melangkah meninggalkan rumahnya. Setibanya
di kanrtor, dia mengembalikan kunci mobil itu kepada Daru dan
menyatakan bahwa masih ada urusan keluarga yang harus diselesaikannya
hari ini. Surya meminta stafnya itu untuk menunda jadwal kegiatannya
hari ini hingga Senin nanti. Setelah menyimpan surat Pernyataan beserta
videocam di lemari kantornya, dia pergi kembali meluncur di jalan raya.
Dia berhenti dan memarkir kendaraannya di sebuah restoran. Sambil
menikmati hidangan, Surya memikirkan langkah berikutnya. Dia tidak
dapat memaafkan perbuatan istrinya. Semua kesalahan harus mendapatkan
hukumannya. Ya.., Surya telah mengambil keputusan untuk memberikan
hukuman yang tidak akan terlupakan. Teringat bahwa dia tidak memiliki
perlengkapan apapun untuk melaksanakannya, dia segera menghabiskan
hidangannya dan beranjak meninggalkan restoran itu.
Surya berputar-putar di jalan raya mencari tempat yang menyediakan
barang-barang kebutuhannya. Akhirnya dia berhenti di depan sebuah toko
material. Di sini dia membeli tambang yang diameternya kira-kira 1,5 cm
sepanjang 10 meter. Dia belum tahu persis apa yang akan dilakukannya
dengan tali sepanjang itu, yang penting beli dulu. Dibelinya juga
seperangkat rantai anjing, 2 set gembok, 5 meter rantai yang agak
tebal, dan beberapa sekrup yang ekornya melengkung berbentuk seperti
tanda tanya.
Hari sudah malam ketika Surya kembali tiba di rumahnya. Ratih
segera membukakan pintu menyambut kepulangannya. Surya menggapaikan
tangan memanggilnya, dan memerintahkan dia untuk membawa masuk
kantongan plastik berisi barang belanjaannya tadi. Ratih menurut dengan
patuh.
"Makan dulu, Mas?" tanya Ratih setelah mereka tiba di dalam rumah.
Surya hanya mendengus dingin dan malah memerintahkan Ratih menanggalkan seluruh pakaiannya.
"Selama aku di rumah, kamu harus telanjang bulat, mengerti!"
Takut akan membangkitkan kemarahannya, wanita itu segera melepaskan
semua pakaian yang dikenakannya, juga BH dan celana dalam. Kemudian dia
berdiri mematung di hadapan Surya. Melihat tidak ada perintah susulan,
dia kembali mengulangi ajakannya.
"Saya sudah siapkan makanan kesukaan Mas. Kita makan yuk, aku sudah lapar."
"Kau saja. Aku sudah!" sahut Surya setelah menimbang-nimbang beberapa lama.
Bagaimanapun wanita itu harus makan. Kalau dia sampai sakit dan
harus dirawat di rumah sakit, maka berarti penundaan atas rencana
hukumannya. Ratih masih berusaha membujuk Surya agar bersedia memakan
masakannya. Namun setelah Surya menunjukkan ketidaksukaannya, akhirnya
Ratih menyerah. Dia beranjak ke meja makan, dan menarik bangkunya,
namun Surya melarangnya.
"Jangan! Kamu tidak layak duduk di bangku. Mulai saat ini tempatmu di lantai. Ayo turun!"
"Aduh! Mati Aku! Hukuman sudah dimulai." Ratih membatin ketakutan.
Jantungnya berdebar kencang. Dia berusaha tidak mempercayai
pendengarannya. Namun sorot mata Surya yang demikian dingin tanpa
kompromi memaksanya untuk mempercayai kenyataan yang dihadapinya.
Sambil menundukkan kepala, Ratih menuruti perintah Surya. Didorongnya
lagi bangku itu. Lalu dia mengambil piring, namun lagi-lagi terdengar
suara Surya.
"Kurang ajar! Beraninya kamu memakai piring saya?" Ratih menatapnya dengan heran.
"Semua barang di sini milik saya, mengerti? Kamu tidak boleh
memakai apa pun milik saya! Pakai saja celana dalammu sebagai piring,
kamu mengerti!"
Ratih masih terpaku tidak mengerti. Surya memungut benda yang
disebutkannya tadi dari lantai dan melemparkannya ke dekat kaki Ratih.
"Cepat!" bentak Surya menyadarkannya.
Ratih menggeleng dan menggenggam benda itu.
"Aku tidak usah makan saja, Mas!" tolaknya.
"Makan!" paksa Surya.
"Mmm.., enggak usah lah, masih kenyang."
"Melawan, ya?" suara Surya meninggi, "Rupanya kamu ingin segera
jadi artis? Oke, akan segera saya siarkan rekamanmu tadi di internet!"
ancamnya.
"Mungkin adikmu Sari juga akan kukirimi email."
"Jangan, Mas! Jangan! Aduh! Baiklah.., baiklah, aku makan. Maaf,
Mas!" potong Ratih sambil segera mengembangkannya di atas telapak
tangannya.
Surya tersenyum melihat ancamannya berhasil. Sementara itu Ratih
mulai menyendokkan nasi beserta lauk-pauknya ke atas celana dalamnya
itu. Kemudian dia duduk bersimpuh di lantai, dan mulai menyendoki
makanan itu dengan tangannya. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa jijik
dan terhinanya. Ditabahkannya diri dan terus memasukkan makanan dari
celana dalamnya itu ke dalam mulutnya. Semuanya berlangsung di bawah
pengawasan Surya. Ketika dia akan mengambil minum, maka Surya
menyuruhnya menggunakan BH yang tadi dipakainya sebagai gelas. Ratih
melaksanakannya, dan tentu saja akibatnya banyak air yang menetes ke
lantai.
"Jorok! Minum saja tidak becus. Bersihkan! Jilat dengan lidahmu!" hardik Surya.
Ratih merintih dalam hati. Tidak disangkanya Surya begitu tega
menghina dirinya. Air matanya menetes saat dia melaksakan perintah itu.
Dari sudut matanya dia melihat Surya tersenyum bangga menikmati
penderitaan yang diakibatkannya.
Kehidupan baru Ratih telah dimulai. Surya memasukkannya ke dalam
kamar mandi yang terdapat di kamar tidur mereka. Setelah mengikat kedua
pergelangan tangannya ke belakang punggung, dia lalu mengunci pintunya
dari luar. Hal ini dilakukan untuk mencegah segala resiko. Bagaimanapun
dia merasa perlu untuk mewaspadai wanita ini. Dia sadar betul betapa
orang nekat dapat melakukan segala hal yang tidak terduga.
Ratih meratap memohon sedikit keringanan dari Surya, namun sia-sia.
Dia terus meratap tanpa mendapatkan tanggapan. Ketika dia sudah hampir
putus asa, mendadak pintu terbuka. Harapan kembali tumbuh. Namun
ternyata dugaannya meleset. Surya kembali bukan untuk membebaskannya,
melainkan hanya untuk meningkatkan hukumannya. Diputarnya keran air
hingga mengucur deras mengisi bak yang sudah hampir penuh. Kembali
Surya keluar meninggalkannya terkurung di sana.
Kini suara ratapannya tersamar oleh bunyi deburan air. Ratih
memandangi kucuran air itu dengan ngeri. Sebentar lagi bak akan penuh,
kalau kerannya tidak ditutup, maka air itu akan membasahi lantai dan
mengguyur badannya yang telanjang. Ketika yang ditakutkannya terjadi,
dia kembali memanggil-manggil Surya tanpa hasil. Air mulai menggenang
menjangkau kakinya. Malam yang telah dingin makin bertambah dingin.
Ratih merasa sangat lemah. Kakinya sudah tidak kuat menahan tubuhnya.
Perlahan-lahan dia merosot di dinding ruangan, lalu terjatuh, jongkok
di lantai. Hal ini tidak berlangsung lama. Dia berusa untuk berdiri
lagi, namun tidak mampu, dan akhirnya pantatnya langsung menyentuh
lantai.
Ini merupakan malam terpanjang dan paling menyiksa yang pernah dialami oleh sesosok tubuh bernama Ratih.