Aku
ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya.
Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku
menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja
saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA
(sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya
yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat
jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali
melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang
aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya
usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur
4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal
alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke
Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari
Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun
ini.
Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam
kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat
jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita,
setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik
mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main,
sampailah aku pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok
dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar aku masuki pintu pagar
yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda,
berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di
desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan
sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah
cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan
gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali.
?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante
engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ??
Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak
berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan
penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira keponakan atau
anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk
seorang pembantu.
Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu
ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal
individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling
kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja
Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi. Tentu karena aku sudah
dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku diberi kamar sendiri, walaupun
agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga.
Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama
ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan
selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan
selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang
di lemari itu untuk selimut. Rumah di desaku cukup dingin karena
letaknya di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di dipan
kayu hanya beralas tikar. Aku diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku
sendiri.
Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini.
Petang itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres
kamar, aku hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja
di kamar,? Tante memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk
di sofa nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku
makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti
kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19
lewat. ?Selamat malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.?
?Iya Oom.? ?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah
dan ibuku. ?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita
tentang rencana sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri
yang dekat rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom
kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya,
saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal
Tante. ?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun,
Oom.? ?Badanmu engga sesuai umurmu.?
***
Hari-hari baruku
dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom
dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya
dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan
ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah
yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa
diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi
tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan
tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik,
dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante
sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan.
Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak
baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman
sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau
meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya
minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh
orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima
usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena
aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi
dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar.
Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.
Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku
bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah.
Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan
selembar majalah bergambar, namanya Popular.
Rupanya penemuan
majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita.
Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku.
Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.
Majalah
itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus
kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu
kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria.
Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok.
Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya
terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk
memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku
keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara
dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar
kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat
jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan
yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru
pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan
sebagian atas dada.
Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi
lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang
kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini
aku nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan
kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu.
Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup
membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku
menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena
melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya dada
Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke
depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke
belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan
bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup
membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar.
Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng
lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan
berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat wajahnya yang
manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut
?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia,
semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya ?wawasan?
lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa
selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia
isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku.
Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang.
Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai : wajahnya putih bersih
dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya
? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti?
Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.
Aduh! Kenapa begini ?
Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk
dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah
ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga,
sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat
kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa
digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar
kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di
seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Yani
duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model
kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih
indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi
bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk
menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke
bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante
memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku
terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi
Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya
yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya
tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi
terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah
itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan
?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta,
hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk
di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati
pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat
membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya.Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga
Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu
pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante. Saya
belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga
apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu
saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu
beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang
baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma
dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja
terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada
kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil
mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap,
tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya!
Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan
makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang
mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan
wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih
sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!
Hari-hari
berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang,
nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu
malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki,
anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur,
Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini,
sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha
mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya
memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di
depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat
sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik,
putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan
seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap,
hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak
waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres
ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di
panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap
hari.
Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu
kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan
kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau
sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku
pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru
mau berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat
sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas
kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju.
Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau
Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup,
sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!
Pulang
sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi
ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan
majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak
kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran
itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku
dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih,
mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean
ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante.
Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat,
tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena
baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya
dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di
tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera saja
tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman
berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang
tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke
pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar
itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan
puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah
dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk
ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku
?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya
bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak
memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya
baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup
sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang
mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini
mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu
aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri
sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada
pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ?
Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di
meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa.
Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti
handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya.
Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai
mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat
kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,?
sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,?
jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua
tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang
beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar
juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya
mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun aku melihatnya
masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke
depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin
mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat
lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu
saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu.
Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini
lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi.
Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi.
Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia
tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik
merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping
takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku.
Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang
luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk.
Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh
ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Aku
mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum selesai. Aku duduk
menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi,
menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia
menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi
seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat
baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan
menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat
dari samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau aku
menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya.
Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku
siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa
yang begini. Aku khawatir tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya
tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah
putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan hilanglah
kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada
ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung,
atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas:
?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku
menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari
belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu
lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal,
memang.
Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu
Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi
bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak
begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang
muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya
juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi
yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk
di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas
penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat.
Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya
menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun
menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat,
aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan
meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah
kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi,
seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa
memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu
membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku
ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol!
Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah,
kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya
pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak
mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman
sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya
aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu
kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi
?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ?? ?Ya,
tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua
tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu tandanya
kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah
dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi
juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya kamu badan aja
yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja. Beberapa hari sebelum
mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita sebagai orang dewasa!
?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran ?? ?Engga juga.?
?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman
sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau pacaran ngapain aja
sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran.
Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. ?Ha.. ha.. ha.!
Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling
ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya
hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV,
enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba,
pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru nih.
?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku caranya
gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia cerita
bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi
tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu
saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia,
lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah
bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke
lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah
aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada
belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di desa
adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran.
Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana
bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu
jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman
dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ?
Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba.Sepertinya sedap.
Dalam perjalanan pulang aku membayangkan
bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus
enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu
menyelusup dan? sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa
sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada
sedikit tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika
berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita.
Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat
jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu
halus. Telapak tanganku tak cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku
berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang
jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli. Anak ini
memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya
menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian
membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun
berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing
dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol
biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga.
Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali
ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu
tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati
Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam,
atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua
bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang
sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada
siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah
sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian
atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak.
Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah
dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini.
Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi.
Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan
amat indah ini?
Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku
ini. Wajah dan ?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya
indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi
berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu
halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar,
proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang,
begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang
terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat
langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa
membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat
kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan
aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran. “Lanjutan
pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.
Sampai di
rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian
Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan
daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah.
Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian
pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati
hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan
tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya.
Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah
suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule
berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku
mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas
warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh
beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan
“segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus
keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki cewe itu dilipat
sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir
ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu.
Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada
tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit.
Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ?
Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba
pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang
jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya
Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan
saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa memberikan
“jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh pada perintah
majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta membantuku
beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan ramah.
Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari ngobrol
dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu
waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap
pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku.
Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu
ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa
kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu,
sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung begitu, pacari
saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya? dari pada tidak
pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara memulainya ? Ah,
dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia
setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya
biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya
tak begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari
ini aku bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati,
jangan sampai ketahuan oleh siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia
membersihkan kamarku ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja
menunda makan pagiku menunggu Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si
Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika melihat aku ada di dalam kamar.
“Masuk
aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi
buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus
sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya
nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku
membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas
tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama
ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget aku.
“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”
“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama mbak kerja di sini ?”
“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat aku”
“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai
di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar
aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih
dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya
pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi
aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya
milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin
wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu. Apalagi milik
Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil” melihatnya! Di
dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku
kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk
di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini
makin menarik.
“Mau makan sekarang, Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan
senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga
kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke
ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar
cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih
banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun
ke dapur.
“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
“Sini aku bantu”
“Ah,
engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya
menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati
dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh
badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga
kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak
yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan,
kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun
berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah
mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi
sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku.
Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi
ditepisnya tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”
“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?”
“Yeee!”
sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi
berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong,
tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya
tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi
selanjutnya!
Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi
selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu
di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak
berreaksi. Amboi ..dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di
tanganku, bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun meronta.
“Ah,
Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku
melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.
“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar
kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap
cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju!
***
Aku
ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi
di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin betul
kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua buku
itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku Gambar.
Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum orang itu
memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas. Siapa ya ?
Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku jadi
memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku
malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang.
Siangnya
pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang
memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki pantat
Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di sana.
Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika tahu
mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh arti.
Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku
Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari
sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh
bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku
berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah
asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu
serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga
gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya
sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang
besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap)
menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar kedua, posisi Si Cewe masih
sama hanya kedua tangannya memegang bahu si Cowo yang kini condong ke
depan. Nampak jelas separoh batangnya kini terbenam di selangkangan Si
Cewe. Lho, kok di situ masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya
dia “masuk” dengan benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang
berlipat-lipat”, persis gambar milik Dito kemarin. Menurut bayanganku
selama ini, “seharusnya” masuknya penis agak lebih ke atas. Baru tahu
aku, khayalanku selama ini ternyata salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si
Cewe diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan mereka lengket berimpit
dan tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam di “tempat yang
layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar. Mulut lelaki
itu menggigit leher wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah
dada, ibujari dan telunjuk menjepit putting susunya. Gemetaran aku
mengamati gambar-gambar ini bergantian. Tanpa sadar aku membuka
resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi telah tegang.
Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si Mar persis gambar
kedua. Kenyataanya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di
dalam tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya,
gambar kedua, setengah, ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus
kugosok… makin geli.. gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di
awan.. aku melepas sesuatu… hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan
sampai bantal, putih, kental, lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu
mimpi basah. Sadar aku sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang
lalu aku masih melayang-layang. He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ?
Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku,
sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes.
Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja
kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku
begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku
beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada
sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah
meski badan agak lemas..
***
Sehari itu aku jadi tak
bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku telah berbuat
dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan salahku seluruhnya, aku coba
membela diri. Gambar-gambar itu juga punya dosa. Tepatnya, pemilik
gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu ada di balik
buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat. Akan
kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan
harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar
seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”.
Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari
berikutnya aku “harus” tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang (menurutku)
bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih molek itu,
Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran terakhir bebas.
Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di halaman, lalu masuk
lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku ketika membuka pintu
menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya tertutupi
majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan teratur. Rupanya
ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi seperti dulu tapi ini
warna pink muda, rambut masih terbebat handuk. Agaknya habis keramas,
membaca terus ketiduran. Model baju mandinya seperti yang warna putih
itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak
memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah dadanya yang menjulang dan
bulat, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat sampai ke bulatan bawah
buah itu. Sepasang buah bulat itu naik-turun mengikuti irama
dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku hampir pingsan. Kaki kirinya
tertekuk, lututnya ke atas, sehingga belahan bawah baju-mandi itu
terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru tentang tubuh wanita,
khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam di sana.
Tanteku
ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh “segitiga
terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah
menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur, dari
tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda
dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting.
Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali! Kelaminku tegang luar
biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya
di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika. Kalau
Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali kalau
diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku
jadi bebas meneliti kewanitaan Tante, kecuali kalau ia tiba-tiba
terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati milik
Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah itu yang kecermati. Ada
“daging berlipat”, ada benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih
menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah benjolan itu ada
“pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ?
Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ? Bisa saja sekarang
aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ, persis gambar
pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante
menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di situ
pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus
terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas
baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski
perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku
masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa
depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan
milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik
bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna
sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku
mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh
Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama
sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di
depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak
naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah
buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku
mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit
menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum”
pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku
menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun
bagaimana ? Kuurungkan niatku. Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo,
jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang
teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku.
Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain
itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang
nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya.
Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna merah
jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi .
indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya.
Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante
terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah
tergolek hampir telanjang bulat ini.
***
Aku jadi tak
tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting
merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku
mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat
janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi
dengan siapa ?
Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata
pelajaran sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku
yang begitu. Percuma di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi
aku ketemu Tante yang siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang
ketat ini Tante jadi istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya
membusung tegak ke depan, bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah
lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah
menyempit lagi. Sepasang paha yang nyaris bulat seperti batang pohon
pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku
ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di
balik pakaian senam itu aku pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru
bagian tubuh yang penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia
tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku
menyingkap putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
“Iya
Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu
mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil.
Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.
***
Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
“Dekat,
di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak
berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
“Tumben, kamu tidur siang”
“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.
“Kamu suka main voli ?”
“Di
Kampung saya sering olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya
langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah,
Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tante” Wow,
buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah
dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
“Kerja apa di kebun ?”
“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.
“Apa saja yang kamu tanam ?” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing
terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki
pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 % paha
Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di
celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
“Kalau kamu mau makan, duluan aja”
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”
“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…
“Kerasan
sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di
kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap”
“Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”
“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.
“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”
Di
antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat
“celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah
pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas
buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah
ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah
berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam
Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan
terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
“Mau bantu Tante sekarang ?”
“Kapan saja saya siap”
“Betul ?”
“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”
“Pijit kaki Tante, mau ?”
Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini
“Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga ada”
“Tapi
saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman
yang keseleo karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan
perintahnya.
Sekarang
ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan
kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah
kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis
lainnya mengamati bulu-bulu halus.
“Begini Tante, kurang keras engga ?”
“Cukup segitu aja, enak kok”
Tangan
memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di
pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit
membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku
pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan
mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh,
sekarang aku betul-betul keras.
“Aah” teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.
“Maaf Tante”
“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja”
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin!
Aku
mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau
terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya,
habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar,
yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah
“tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos
dasternya.
“Eeeh” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!
Kedua
tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi
dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini
seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang
melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi
menyingkap dasternya.
“Enak To, kamu pintar juga memijit”
Aku hampir saja berkomentar :”Paha Tante indah sekali”. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
“Ke atas lagi To” suaranya jadi serak.
Ini
yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah
ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah,
Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya! kataku
dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras
ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan ketika memeluk
tubuh mbak Mar dari belakang.
“Ih, geli To. Udah ah, jangan di
situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas
pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
“Cape, To ?” tanyanya lagi.
“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.
“Bener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
“Eeh” desahnya pelan.
Turun
ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak
berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin
bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Dada
busungnya tergencet, jadi buah itu “terbuang” ke samping. Nakalku
kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke
samping.
Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak
langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya
buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang.
Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.
“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
“Depannya
Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh
melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.
“Kaki
depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku. Takut
dikiranya aku ingin memijit “depannya punggung” yang artinya buah dada!
“Boleh
aja kalau kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante berbalik
terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia
berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan “eksistensi” kemolekkan buah
dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh molek terlentang
dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah, sebagai reaksi
atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka,
karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah
tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam,
mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati “sisanya”:
sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya.Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
“Iih,
geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha
atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal,
diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos
daster sampai pangkal paha.
Dengan
sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku.
Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu. Jelas
rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan
cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh
selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi
untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ?
Aku tidak mengerti.
“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku
memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu
menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
“Ya,
Tante” mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap
memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah,
mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak
? Jangan terlalu berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini
tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu,
membelai. Habis tak tahan.
“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi
kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik
dasternya, mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.
“Too ….
” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak
di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak
menindihnya.
“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.
Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
“Ehhmmmm”
Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk
punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar
memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih
tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga
tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras
tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.
“Ke kamarmu saja”
Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.
“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.
Kulepas
seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan
celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menahan sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
“Eehhmmmmmm” dengusnya
Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan “isinya”
“Eehhh” Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.
“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
“Besar sekali”
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas
tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah
dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat
buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip
ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya
aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara
benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya
bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik
juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu
ramping, perut itu rata, ke bawah melebar lengkungannya indah.
Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang
nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan
main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya
ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya,
ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia ‘kan
yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku.
Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung
penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata.
Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang
pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung.
Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah
kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari
lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi
tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan
penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh
tenggelam, tapi macet!
“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!
“Eeeeeeeeehh” keluhnya, sepertinya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa
menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali
ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang
luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.
Nikmatnya susah digambarkan.
Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.
Sama-sama diinginkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada “lawan mainku”, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.
Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.
Aku harus ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.
“Maafkan saya, Tante”
Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
“Kamu engga perlu minta maaf, To”
“Harus
Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya
engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya
melakukan itu”
“Betul ? Baru pertama kamu melakukan ?”
“Sungguh Tante”
“Engga
apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya
karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmati”
“Nikmaaat sekali, Tante”
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapun”
“Tentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Gimana kalau Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.
“Nanti apa ?”
“Akibat perbuatan tadi, lalu Tante ..”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“Engga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jaga”
“Saya engga mengerti Tante”
“To, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”
Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.
“Pelan-pelan To” katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam
“Eeeeeehhh” desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
“Tante ” aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya
“Terima kasih, Tante” lalu kucium pipinya.
“Ya ” jawabnya singkat.
“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang ‘niih’
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam
ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai “keterusan”.
Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku
menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke
lantai.
Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.
Padahal
wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih
padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang
sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih
mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri
Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh
kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai
sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku sekarang jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.
Pakai
meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih
sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.
Tante
sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku
mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku
membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh
celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan ke
kelaminnya….
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku ingin mengulangi ……….!
***
Paginya,
kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani
menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan
bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar,
seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu makan.
Tante
bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi
ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di
depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku
ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran
hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku”
masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku
ingin lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku
meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok.
Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku.
Memangnya kamu ini siapa.
Lebih baik begitu, wajar saja, ‘kan ada suaminya.
***
Dua
hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di
garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom
tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir
ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga
wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari
ketemu Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante
tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu,
dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul
tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung
“naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan
sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya
ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar
saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang
ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku
selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas,
ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju
tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum
sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia
baru bangun tidur, melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi Tante”
Ia
tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium
pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante
tak memakai kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.
“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.
Sejam
kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom
Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante
mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster
kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
“Tarto” Oom Ton memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?”
Ini rupanya kabar gembira itu!
“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam tiga”
Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya, Ma”
“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”
“Mama juga hati-hati di rumah”
Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya To”
“Ya, Oom”
Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.
Luki
dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di
belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante
dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama
sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.
Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku
tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam
setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama
sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang
tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa
meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali
membalas remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku
makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap
celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat “volume”nya.
Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.
“To., kamu engga sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan
saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi,
Tante” Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku
juga mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante, saya
membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon. Aku yakin
Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku
merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak
mungkin surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain
berlanjut ?
“Saya mohon, Tante” kini aku betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga
hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama
kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini.
Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku
baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya
sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.
Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada itu mengagumkan.
Putih,
besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya,
putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.
Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku
bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri
permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan
kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus sekali!
Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku berakhir di
puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.
Tangannya menekan kepalaku.
Kukemot
lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras.
Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari
tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan
kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting
sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang
sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan
dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah
puting agak ke bawah menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari
dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak
merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat
tadi siang waktu makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang
terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
“Maafkan saya Tante, habis gemas sih.”
“Yahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita saja”
Dipegangnya
dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada
kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.
Aku
bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya
sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya
saja. Dada itu rasanya makin besar saja.
Kutarik kedua tangan
Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku,
dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu
keluar dengan gagahnya persis di depan mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”
Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan
perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu
dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana.
Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman,
saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit.
Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang
aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku
ke lubang sempit itu, lalu kudorong hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”
Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil
memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau
geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak
lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”
Nyaman, sudah didalam seluruhnya.
Pinggul
Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut
Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh,
mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.
Kejadian
tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan
geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa
begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti
kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di puncak.
Aku
coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu,
persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante
langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras
kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri. Langsung saja aku
bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin ngawur.
Aku
jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar
hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku
selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai
semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya hanya memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang sudahlah, kamu lumayan tadi”
“Lumayan gimana Tante ?”
“Ada kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante cuma menghibur saya”
“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”
“Gimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?’
“Nanti kamu akan tahu sendiri”
“Ajarin saya ya, Tante”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu, ya ?”
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan
karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya.
Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya
berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus begini”
“Oh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga harus hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku
***
Malam
itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku
kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di
sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan …diakhiri
dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku
dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin
kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?
Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.
Tubuh indah itu sendirian di kamar.
Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.
Kenapa engkau tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.
Jam 10, belum ada tanda-tanda.
Aku
putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh
besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di
Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.
Tapi aku ingin malam ini!
Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian
aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini
besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah
lihat punya orang lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin
berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus
bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium
pipinya.
“Hati-hati, To”
“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan dulu”
“Mar ada di belakang” katanya.
“Tante”
“Ehm ?”
“Tarto sayang Tante”
“Aku udah ada yang punya, To” katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”
“Ya.
Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ mau
terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang
menyelinap ke kamar Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mau” kataku nakal.
“Gila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!”
“Habis Tante betul-betul menggemaskan” Aku ngaceng lagi!
“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”
“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”
“Lihat dulu nanti”
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.
***
Di
kelas aku jadi sering melamun, membayangkan waktu aku menyelusuri
seluruh permukaan dada Tante dengan mulut dan lidahku. Membayangkan
bagaimana kelaminku secara perlahan memasukinya…
Bel tanda pulang
berbunyi. Aku bersorak. Ingat ke rumah, ingat malam ini Tante menjadi
milikku. Akan kureguk semua kenikmatan dari tubuh Tante. Pokoknya nanti
akan kunikmati seluruhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki,
sampai puas.
Memang aku bisa puas, tapi bagaimana dengan Tante ?
Dua kali aku berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku bisa
mengeluarkan spermaku ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak,
sampai puas. Tapi Tante tidak. Aku jadi cemas, jangan-jangan nanti aku
juga begitu. Tapi aku ingat, yang kedua kemarin tante bilang aku ada
kemajuan. Hal ini sedikit menghiburku. Mudah-mudahan yang ketiga nanti
dengan bertambahnya pengalamanku, ada kemajuan lagi. Aku agak tenang
sekarang.
Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada siapapun, juga Tante.
Aku makan siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar, pintu kamarnya
tertutup. Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk saja di
meja makan, berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah jam
berlalu, masih sendiri. Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di sofa
lalu ingat, kemarin di sini aku menikmati buah dada Tante dengan tuntas.
Diam-diam punyaku mulai tegak, padahal hanya membayangkan yang kemarin.
Ditambah lagi acara TV menyajikan fashion show di Sydney, Australia.
Peragawati cantik-cantik yang berlenggok di catwalk itu umumnya tak
memakai kutang. Kalau model bajunya berdada rendah, belahan dadanya
jelas. Kalau bahannya tipis, putingnya menonjol. Apalagi peragawati yang
punya dada besar, buahnya berguncang waktu ia melenggang. Aku tambah
tegang, makin pusing karena terangsang. Oh. Tante sayang, kemanakah
engkau. Aku membutuhkanmu sekarang!
Tiba-tiba pintu kamar Tante
terbuka. Aku menoleh. Kepala Tante nongol memberi isyarat padaku dengan
mengangguk-angguk. Nasibku memang beruntung. Jelas ini isyarat ajakan
masuk. Tapi masak di kamar itu, kamar pribadi Oom dan Tante. Aku ragu,
bengong saja belum bereaksi atas isyaratnya. Sekali lagi Tante
mengangguk, kali ini sambil mengedipkan kedua matanya. Dengan pasti aku
melangkah menuju kamarnya. Kepala Tante lenyap. Aku masuk langsung
menutup pintu kamarnya dan mengunci.
Di ranjang besar itu Tante
terlentang. Mengenakan baju tidur tipis, sehingga samar-samar celana
dalam dan kutangnya terlihat. Matanya sayu memandangku, berkaca-kaca.Kutang itu bergerak naik-turun menandakan nafas Tante sudah memburu.
Aku tak tahan melihat pemandangan yang menggairahkan ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi…
“Tunggu
dulu. Buka dulu dong, pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa dimintapun
aku akan membuka. Sementara aku membuka pakaian sampai telanjang bulat,
Tante memelorotkan celana dalamnya dengan posisi masih terlentang. Kini
di balik baju tidur tipis itu nampak rambut-rambut halus yang
menggemaskan itu.
Belum sempat aku bergerak, ada lagi ‘ulah’ Tante.
Ditariknya
gaun tidur tipis itu perlahan, memperlihatkan paha bulat itu. Ditarik
lagi keatas sampai pusarnya nongol. Kelamin berambut halus dan perutnya
terbuka terhidang di depanku. Luar biasa. Tante menyajikan ’strip tease
show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini.
Dengan ’senjata’ yang tegak keras aku menghampiri tubuh indah ini.
Kucium rambut-rambut halus itu sebentar. Gemasnya aku.
“Aaaaaaaahhhh” teriak Tante.
Aku
berpindah ke atas, kulumat bibirnya sambil meremas sebelah dadanya.
Kutang itu perlu disingkirkan dulu seharusnya, tapi aku tak sempat.
Tanganku sebelah lagi bergerak ke bawah. Eh, Tante sudah basah! Benjolan
dan pintu itu licin.
“Hhhhhhhhmmmmmmmm..” Tante tak mampu melenguh karena bibirnya aku kunci dengan bibirku.
Disingkirkannya
tanganku yang sedang asyik di bawah, dipegangnya kelaminku, lalu
diarahkannya ke ‘pintu’. Rupanya Tante ingin memulai sekarang. Mungkin
sama dengan aku, sudah sama-sama terangsang lebih dulu sebelum bergumul.
Aku terrangsang oleh bayanganku dan peragawati tadi, Tante terangsang
entah oleh apa.
Aku mulai ‘masuk’
“Aduhh! Pelan-pelan, To!” Tante mengaduh, memang masukku tadi agak kasar.
Kamipun
saling menggenjot. Lucu kelihatannya kali ini. Tante masih mengenakan
gaun tidur dan kutangnya, kelamin kami sudah saling pagut…
Hasilnya, seperti kemarin.
Aku
‘keluar’ lebih dulu, sementara Tante belum terpuaskan benar. Kentara
dari pinggulnya yang masih mencoba menggoyang sambil kakinya menjepit
pinggangku.
Kembali aku kecewa.
Kalau kelaminku sudah
bergesekan dengan kelamin Tante, disamping rasa nikmat, juga rasa geli
luar biasa. Jika sudah geli begitu, aku tak sanggup lagi menahan untuk
jangan sampai ke puncak dulu.
Kembali aku gagal memuaskan Tante.
Kembali aku berusaha menetralkan suasana yang tak enak ini.
Kuelus
buah dada yang putingnya masih tegang itu dengan penuh perasaan, lalu
kucium perlahan. Tante mengusap kepalaku. Kucium pipinya dengan mesra.
“Tante..”
“Hmmm”
“Saya..engga..”
“Udahlah..Tante tahu. Kamu engga usah merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan”
“Iya, Tante. Dulu saya kerja di kebun. Saya juga sering olahraga”
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku.
“Kelaminmu besar sekali”
“Ah, masa Tante. Saya kira biasa-biasa saja”
“Apalagi kalau lagi tegang”. Kulirik punyaku, sudah agak surut.
“Tubuh Tante luar biasa” balasku.
“Kalau lagi tegang keras dan panas” komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku.
“Buah dada Tante indah sekali”
“Ah, masa. Dibanding punya siapa” pancingnya.
“Siapa saja” Aku pura-pura terpancing.
“Berarti kamu sering lihat buah dada, ya” Kubalikkan badannya.
“Besar, bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi” kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.
“Buah dada siapa yang kamu lihat” tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku yang masih berada digenggamannya.
“Cuma baru ini” jawabku sambil mulai merabai permukaan dadanya.
“Jujur aja, To. Dada siapa yang pernah kamu lihat” katanya lagi. Tante penasaran rupanya.
“Sungguh mati Tante. Cuma punya Tante yang pernah saya lihat”
“Yang bener, To” tangannya tidak menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.
“Benar Tante”
“Kok tahu bagus ?”
“Saya hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun dari luar”
“Pernah kamu pegang ?” Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang.
“Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar, dong”
“Jadi, tahunya punya Tante bagus, dari mana ?”
“Pokoknya, dari luar, punya Tante paling besar” Ujung jariku mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras.
“Tante”
“Hmm ?”
“Apa setiap buah dada ujungnya begini ?’
“Begini gimana”
“Panjang, mungil, tapi keras”
“Mungkin. Punyamu mulai keras”
Aku
seperti disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan
tentang dada dan elusan Tante pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak
? Mumpung masih ada kesempatan. Oom Ton paling cepat besok siang
pulangnya. Segera saja kukulum putting yang sejak tadi kupermainkan.
“Eeeeehhhhhmmmmmmm..” Tante melenguh panjang.
Tanganku ke bawah mencari-cari di antara ‘rambut-rambut’. Basah di sana. Kugosok yang basah itu.
“Uuhmmmm….Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm” desahnya agak keras, mengikuti irama gosokanku. Kelaminku diremas-remas. Enak.
“To… Hhheeeehhhggh..sedap, To..Hhheeeeeghh”
Tante
makin ribut, aku khawatir kalau sampai terdengar dari luar kamar. Ah,
tak ada orang ini. Aku makin giat menggosoki tonjolan kecil di bawah
sana.
Tante makin ribut, menceracau tak karuan
Gosok lagi.
Teriak dia lagi. Akhirnya…
“Udah, To.ampun..Ayo To, sekarang To, sekarang…!”
Aku
bangkit. Kelaminku yang sudah keras kupegang pangkalnya, kuarahkan.
Tante membuka kakinya lebar-lebar. Demikian lebarnya sampai kedua
lututnya ke atas, menyuguhkan kelaminnya yang membasah, tepat di depan
kelaminku.
Aku masuk.
Kudorong perlahan.
“Oooohhh, To..sedapnya….”
Sudah tenggelam separoh. Kudorong lagi.
“Aduuuuhhhh, mamaaaa, nikmatnya…” teriaknya lagi.
Kudorong lagi.
Sudah masuk seluruhnya.
Kurebahkan
tubuhku menindih tubuhnya. Tanganku ke belakang punggungnya. Kudekap
erat tubuhnya, lalu aku mulai menggenjot. Sedaaaaaaaapp.
Bertumpu pada kedua lututku, aku menarik dan mendorong pinggulku.
Nikmaaaaaaaaaattt.
Entah kata apa saja yang keluar dari mulut Tante aku tak peduli. Terus saja menggenjot, naik-turun, keluar-masuk.
Aku nikmati benar gesekan kelaminku pada dinding vagina Tante.
Kadang
selagi punyaku didalam, Tante “mengikat” pahaku dengan kakinya sambil
memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan seluruh relung kelaminnya pada
kelaminku.
Luar biasa sedapnya.
“To…hhehh.kamu…hhehh..kok..hhehh..”Tante mencoba bicara disela-sela nafasnya yang memburu.
“Keenaapaa . hheehh.. Taanntee…hhehh”
“Kamu….kok…lama…”
Baru
aku menyadari, sudah puluhan kali kelaminku kugenjot keluar-
masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli seperti biasanya. Yang
kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan yang kemudian
membuat aku ke ‘puncak’, kali ini tak kurasakan! Heran!
“Engga …tahu.. Tante..”
“To, Oh my God..heeeehhhhhh”
“Enak…Tante…?”
“Wooow….luar biasa…”
Genjot dan genjot lagi
“Kamu..masih…lama..To..?”
“Masih…Tante.”
Memang aku belum merasakan “geli menuju puncak”
“Diam. dulu,.. To”
Aku menghentikan genjotanku. Posisiku masih “di dalam”.
Tangan
Tante memeluk erat punggungku, sementara kakinya mengikat pahaku. Lalu
tubuhnya bergerak miring hendak merobohkan tubuhku. Aku bertahan, tak
tahu maksudnya.
“Gantian, To…Tante di atas.”
Baru aku tahu maksud gerakan Tante ini. Kuikuti gerakannya, tapi..
“Jangan.sampai…lepasss”
Rupanya
gerakan robohku terlalu cepat, sehingga kelaminku sedikit tercabut.
Untung Tante cepat mengimbangi gerakanku, hingga punyaku “masuk lagi”.
Sekarang
kami sudah sempurna berbalik posisi. Tante yang menindihku. Hanya
sebentar. Tante lalu perlahan bangkit mendudukiku. Kelamin kami tak
terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh, gerakannya maju-mundur! Rasanya
lain pula, tapi sama sedapnya! Dengan posisi begini gesekannya terasa
lain. Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante “jongkok”, pantatnya
naik-turun, sedap juga.
“Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan kelaminku, aku mengangkat pantatku.
Kedua tanganku diraih, dituntun ke dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat.
Entah
sudah berapa lama akhirnya Tante capek juga. Dia rebahkan tubuhnya.
Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante menurut. Dengan
hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku berhasil.
“Kamu…udah..pintar..”pujinya.
Dengan posisi di atas aku jadi bebas menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak.
Rasa
geli datang, dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke seluruh tubuh.
Makin geli. Makin cepat aku menarik-tusuk.
Kesemutan…mengambang..melayang..dan…….
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….”
Seeeerrr,
denyut-denyut, seeerrr, bergetar, serrrrr, berguncang..seer. Entah
sudah berapa kali seerr, yang jelas setiap kali keluar aku merasakan
kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Begitu nikmat.
Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante. Badannya telah bergeser ke
atas karena ku”dorong” dengan tusukanku. Bantalnya bukan lagi di kepala,
tapi di punggung. Sedangkan kepala terkulai, mata melihat ke atas,
bibir terkatub rapat seluruh tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu
kuceritakan. Agak lama juga aku dan Tante bergetaran begini, merasakan
puncaknya kenikmatan hubungan kelamin…….
Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang keluar.
Lalu barangsur pelan, makin beraturan.
Tante masih “terkapar”
Aku lunglai di atas tubuhnya.
Ini
keempat kalinya aku bersetubuh dengan Tante. Yang terakhir inilah
kurasakan sangat berbeda dibanding tiga kali yang terdahulu. Lebih
nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak aku mengeluarkan
“air”ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan. Pengalaman baru
tentang rasa nikmat.
Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku tak
salah, Tante begitu menggelepar, mengerang, teriak, berbeda dengan
sebelumnya, Tante kali ini kelihatan “selesai”. Semoga begitu.
“Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya pipiku dengan gemasnya.
“Apanya yang hebat, Tante”
“Kamu betul-betul lelaki” tambahnya
“Memang dari dulu saya laki-laki. Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk perutnya.
“Laki-laki yang jantan” diremasnya penisku dengan gemas.
“Auu” teriakku
“To…luar biasa..” Tak putus-putusnya ia memujiku.
“Enak engga tadi, Tante ?”
“Wow. bukan main. Sangat!”
Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia sekali.
“Tante sayang..” Aku berbisik semesra mungkin.
Agak kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis sekali!
“Ada apa ‘yang ?” Wuih, mesra banget. Tante memanggilku ‘yang’.
“Saya sayang Tante” Kucium bibirnya.
“Hhmmmmmmm” lenguhnya.
“Kalau lama, enak sekali ya Tante”
“Kok kamu tadi bisa lama”
“Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi ronde kedua”
“Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai”
“Yang pandai gurunya”
“Huuuu” cibirnya sambil mencubit kontolku. Aku senang.
“Guruku yang cantik”
Dicubitnya hidungku.
“Dan berpengalaman” godaku lagi.
“Aaah, udahlah, To”
Kami diam lagi.
“To.” panggilnya tiba-tiba.
“Ya.sayang”
“Jangan tinggalin Tante, Ya”
“Oo, engga dong. Masa Tante yang jelita begini mau ditinggalin”
“Tante serius, To”
“Saya juga serius, Tante. Saya membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari, Tante”
“Saya butuh kamu” Nah ini baru pernyataan. Ini pernyataan baru. Tante membutuhkanku ? Bukankan ia punya suami ?
“Oom Ton gimana Tante”
Tiba-tiba wajah Tante berubah, agak sedih kulihat.
“Tante….ah
engga. Pokoknya kita harus hati-hati, To. Ingat pesanku ‘kan ? Tante
juga senang kita bisa begini terus. Tapi hati-hati, ya ?”
“Pasti, Tante. Saya akan hati-hati. Tapi Tante mau kan, tiap hari”
“Nanti kamu bosan”
“Saya
sudah bilang, Tarto sayang Tante. Tarto butuh Tante. Tarto ingin
menikmati setiap hari. Tadi Tante bilang membutuhkan Tarto. Maksudnya
gimana Tante ?”
“Iya.sama seperti kamu, Tante juga ingin setiap hari”
Klop
‘kan ? Keinginan yang sama, saling membutuhkan, saling memuaskan,
dan….saling menyayangi. Apakah ini yang dinamakan cinta ? Ya, apakah
kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin kehilangan Tante, tapi
Tante sendiri bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena mencintai
keponakannya ini ? Atau karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana
dengan suaminya ? Jangan-jangan ia tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton
? Aku ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir ini, tapi mana
berani aku menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu tak penting. Yang
penting, aku sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa membuatku
melayang-layang di puncak kenikmatan.
Lelah benar aku malam ini.
Bayangkan, malam ini dua kali aku “bertempur”. Terutama yang terakhir
tadi, permainan lama yang betul-betul menguras tenagaku. Aku sekarang
ingin istirahat.
Masih agak sempoyongan aku bangkit mengumpulkan pakaianku.
“Mau ke mana To ?”
“Saya ingin tidur, Tante”
“Sudah tidur sini aja, temanin Tante”
“Saya senang sekali Tante, tapi besok Oom ‘kan pulang ?”
“Paling
cepat besok siang” Aku memperhatikan Tante yang dengan malas bangkit.
Tubuh wanita ini memang luar biasa. Aku benar-benar beruntung
mendapatkannya. Masih telanjang bulat Tante berjalan menuju kamar mandi.
Tak lepas mataku menatapnya.
“Kenapa, To” Tante merasa aku tatap begitu.
“Tante memang indah” kataku sambil bergantian menatap dada dan ‘rambut’ bawahnya.
“Kamu memang nakal. Sudahlah, bersih-bersih dulu baru kita tidur”
Di
dalam kamar tidur Tante yang luas ini ada kamar mandi yang luas pula.
Ada dua wastafel cermin lebar, bath-tube, dan tempat untuk mengguyur
(douce) yang berpintu kaca agak buram.
Di bath-tube kami saling membersihkan, Tante menyabun tubuhku sementara aku mengguyur tubuhnya, lalu gantian. Ah, mesra sekali.
Lalu
berdua kami tidur berpelukan dibawah selimut yang hangat, tanpa
pakaian. Tante yang punya ide begini. Enak juga. Jam dinding menunjuk
waktu 11.32. Dua ronde permainan makan waktu hampir 3 jam. Pantas saja
aku lelah.
Dengan tergagap aku terbangun. Dimana aku in ? Tante
masih ada di pelukanku. Kulihat sekeliling, ah aku tidur di kamar
pribadi Oom Ton dan Tante Yani!
Ada rasa enak di bawah sana. Ooh,
Tante sedang asyik mengelus-elus penisku yang tegang. Setiap bangun
pagi, tanpa dieluspun penisku memang tegang. Elusan ini yang membuat aku
terbangun. Kulihat jam dinding, pukul 05.17. Ah , sudah pagi, aku harus
siap-siap. Tapi Tante ini..
Tante memandangku, tersenyum, seperti biasa : manis.
“Punyamu udah keras, To” Buah dada itu menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang.
Langsung
saja aku raih buah indah itu. Putingnya sudah keras. Kami berpagutan.
Aku ingin tahu kesiapan Tante pagi ini, tanganku ke bawah sana. Sudah
basah rupanya. Mengingat waktu, aku ingin segera mulai. Tantepun paham.
Kembali aku melakukan ‘pertempuran’ panjang melawan Tante.
Rasanya jalan ke puncak masih lama.
Aku mempercepat “pompaan”ku
Belum juga.
Aku terus melumat bibir Tante, mencegah “kicauan”nya yang makin keras, khawatir terdengar Mar yang sangat mungkin sudah bangun.
Ganti posisi
Percepat lagi.
Hampir
Ubah posisi
Akhirnya, aku makin yakin seperti yang Tante katakan, bahwa aku lelaki tulen, jantan, hebat….
Pagi yang melelahkan sekaligus menyegarkan……!
Tante
memberikan bukti, bukan hanya janji. Kami bersetubuh hampir tiap hari,
kecuali kalau Tante senam. Waktu yang dipilihnya adalah siang hari,
waktu saya baru pulang sekolah, di kamarku. Ini demi keamanan. Siang
hari adalah saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang sibuk bekerja di
belakang, Si Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah sebelah, dan saat
Oom Ton belum pulang kantor. Siang hari memberikan Tante cukup waktu
untuk membersihkan diri, menghilangkan “bekas”.
Aku jauh dari
bosan, seperti yang dikhawatirkan Tante. Karena aku memang sangat
menikmati hubungan ini. Faktor lain yang membuat aku tak bosan adalah
kreativitas Tante. Seperti yang kukemukakan di awal tulisan ini, ada
saja ide Tante untuk membuat kejutan untukku setiap berhubungan kelamin.
Entah itu posisi berhubungan, atau acara “pembukaan”, tambahan ronde,
dan lain-lain yang membuat aku merasa “lain”.
Pernah sekali waktu
ketika aku pulang sekolah, ia sudah siap di dipanku memakai selimutku
sebatas dada dan tak memakai apa-apa lagi di balik selimut itu. Kejutan
yang membuatku “terbakar”.
Lain kali lagi ia memintaku “masuk”
dari belakang. Bertumpu pada lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil
memegangi pantatnya yang bahenol itu.
Saat yang lain lagi, kami
‘bertempur’ di atas meja belajarku. Ia duduk di pinggiran meja membuka
kaki, aku ‘masuk’ sambil tetap berdiri.
Pernah juga di kursi
belajarku. Aku duduk di kursi yang dirapatkan ke dinding, ia duduk di
atas pahaku berhadapan. Dengan posisi begini ia bebas “memilih” posisi
tusukan kelaminku di vaginanya. Posisi atau gaya apapun, yang jelas
membuat kami berdua menuju puncak bersamaan atau hampir berbarengan.
Kejutan yang susah kulupakan serta merupakan pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di bawah ini.
Seperti
yang sudah-sudah, pulang sekolah setelah ganti baju, aku langsung
menemui Tante meminta “jatah” bersetubuh. Aku sebut jatah karena kalau
malam hari Tante bukan milikku lagi, tapi jatah suaminya.
Siang
itu ruang tengah sepi, Tante mungkin ada di kamarnya, kulihat pintunya
sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke kamarnya, kali ini aku ingin main di
kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde” itu aku tak pernah lagi making
love di kamar itu, selalu di kamarku. Kuperiksa keadaan sekeliling
dulu. Aman.
Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan kimono sedang
mengikat rambutnya. Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang,
menggerayangi. Tak ada apa-apa lagi di balik kimono itu.
“Hhmmmmm..sebentar ya ‘yang, Tante mau mandi dulu”
“Engga usah mandi juga Tante tetap wangi” kataku terus menjelajahi tubuhnya.
“Entar biar segar. Sabar dulu ya..” Aku menghentikan aksiku.
“Saya ikut mandi Tante” kataku bercanda.
“Ayolah, kita mandi bareng” Tak kusangka Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau begitu.
Aku
langsung bertelanjang, menuntun Tante memasuku kamar mandi. Tante
membuka kimononya, bertelanjang bulat juga, masuk ke ruang douce. Tak
bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini, padahal hampir tiap siang
aku menggumulinya.
“Ayo, To” ajaknya.
“Kita main di sini Tante ?” nakalku timbul.
“Hush, sekarang kita mandi dulu, kapan-kapan bolehlah”
Tanganku
yang bersabun menggosoki dadanya. Di bagian putting sengaja
kutekan-tekan. Tante juga menggosok dadaku dengan sabun. Lalu perutnya,
dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga ke bawah. Diusapnya dengan sabun
‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang kelaminku, digosok juga.
Karuan saja batang itu membesar.
“Hiiiiii, bangunnya cepet bener”
Aku menikmati gosokannya. Tante benar-benar teliti, semua bagian dari
alat vitalku itu dibersihkan dengan sabun lalu diguyur. Enak.
Aku
ikut-ikutan. Seluruh bagian kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku lagi
menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat mata Tante merem-melek keenakan.
Selesai mengeringkan badan aku langsung menubruk Tante.
“Heee,
jangan disini To, ingat dong” Oh ya. Siang begini terkadang si Luki
suka masuk ke kamar, tentu diikuti si Tinah. Berbahaya.
Aku berpakaian, hanya pakaian luar saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu.
“Hiiiii, lucu.” kata Tante mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya memakai daster, tanpa pakaian dalam.
Aku
masuk kamarku duluan, langsung berbugil. Sejurus kemudian Tante
menyusul, juga langsung bertelanjang bulat. Kami langsung bersatu,
saling raba dan saling pagut. Kali ini mungkin tak ada kejutan yang
dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu sebelum main. Betul juga kata
Tante, lebih segar.
Aku meringkik kegelian ketika Tante menciumi pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya Tante begitu.
Tapi,
Tante terus ke bawah menciumi ‘rambut’ku. Lebih kaget lagi, tangannya
menggenggam kelaminku dan mulai menciumi barang yang sudah mengeras itu!
Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..
“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika kepala penisku dimasukkan ke mulutnya!
Luar biasa nikmatnya. Ini rupanya mengapa Tante begitu teliti membersihkan kelaminku waktu mandi tadi.
“Tante…”
Tante
seolah tak mendengar panggilanku, terus saja asyik melahap barangku.
Tante sanggup memasukkan barang itu hingga separohnya. Sewaktu di dalam,
jelas kurasakan lidah Tante ikut bermain menggelitiki penisku. Woooow
sedapnya tak terkira .!
Sungguh ini pengalaman baru bagiku.
Nikmatnya terasa lain. Entah apa yang dirasakan oleh Tante. Kok
mau-maunya ia melakukan ini. Aku sih keenakan. Aku perhatikan bagaimana
ia sibuk mengeluarkan-memasukkan penisku, kepalanya naik-turun berirama.
“Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed
ap, .. Tante., …Tante..pintar .sekali…” celotehku menahan nikmat.
Bagaimana nanti kalau aku tak mampu menahan diri ? Masa aku
menyemprotkan spermaku ke mulut Tante ? Ah, bagaimana nanti saja, yang
penting sekarang….sedaaaaaaaaaap.
Tiba-tiba Tante melepas
“makanan”nya, disapunya barangku dengan kain dasternya yang tergeletak
di dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu. Dikeringkan. Lalu…dikulum
lagi…! Nikmaaaaat..
Dilepaskannya lagi, barangkali mau dilap lagi. Ternyata tidak, badannya digeser sehingga kaki Tante berpindah ke arah kepalaku.
“To, .. ayo cium, To..”katanya terengah. Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya.
“Kamu
cium ini…” katanya kemudian sambil menunjuk ke selangkangannya. Okey,
Tante, toh aku sudah sering mencium ‘rambut-rambut’ halusmu itu. Aku
mulai mencium.
“Ke bawah lagi, dong To..” Ke bawah ? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa tidak ?
Kucium tonjolan kecil yang sudah keras itu. Asin rasanya.
“Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”
Kini lidahku yang menyapu-nyapu pintu dan tonjolan tadi
“Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu enak…” katanya sambil mulutnya menyergap lagi batang kelaminku.
Ada cairan yang asin rasanya.
Di kemudian hari aku baru tahu bahwa yang sedang aku dan Tante lakukan sekarang ini namanya “posisi 69″
Dalam
mengulum ini Tante pintar sekali, banyak variasinya. Keluar-masuk,
kadang menyedot-nyedot, bermain lidah, sesekali menggigit (aku langsung
teriak).
Akupun diajarinya bermain. Menggelitik ‘lubang’ dengan
lidahku, menggigit kelentitnya (pelan, tentu saja), menyapu bibirku ke
“bibir”nya.
Asyik juga bermain seperti ini. Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya.
Entah
sudah berapa lama kami bermain begini. Untung saja aku berhasil menahan
diri untuk tidak keluar. Aku sekarang memiliki ketrampilan baru untuk
mengontrol diri, mengatur diri kapan saatnya ‘keluar’. Kalau tidak, masa
aku menyiram mulut Tante dengan maniku.
Sampai akhirnya….
“Ayo, To….sekarang.To….”
Aku memutar tubuhku, sementara Tante rebah terlentang membuka kakinya, siap menerima tusukanku.
Aku masuk dengan gemas.
Tante menerima dengan antusias.
Untuk kesekian kalinya kami saling menggenjot.
Bersama menuju puncak.
Berbarengan menggelepar.
Sudah itu
Sama-sama lemas
Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku.
Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi.
Kurang apa lagi ?
***
Tak
ada yang kurang pada diri Tante. Cantik, putih, tubuh bagus, permainan
di tempat tidur luar biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante tercermin
dari cara bersetubuh. Ada saja yang dilakukannya yang membuatku merasa
bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada hal baru dalam setiap
permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69″, aku selalu minta
dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat menikmati
permainan lidahku di vaginannya.
Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh.
Aku
sudah membuka resleting celanaku, mengeluarkan penisku yang tegang di
dekat Tante yang sedang duduk di tepi ranjang, masih berpakaian lengkap,
di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah, semacam pemberitahuan bahwa aku
sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin, tak seperti biasanya.
Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku mendekatkan
kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak dikulum
seperti biasanya, paling-paling hanya menggenggam.
“Tante engga bisa sekarang, To”
“Kenapa Tante ?”
“Tante lagi …itu..”
“Lagi apa, Tante ?”
“Lagi mens.”
“Mens ? Apa itu Tante ?”
“Kamu engga tahu ?”
“Bener, Tante. Saya sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu.
“Begini, setiap bulan wanita yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi. Wanita yang normal pasti mengalami”
Lalu Tante memberiku kuliah tentang menstruasi itu. Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu.
“Kalau begitu, besok saja ya, Tante” pertanyaan bodoh memang.
“Engga bisa To. Masa mens biasanya sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 – 5 hari.”
Wah, menunggu 4 – 5 hari, mana tahan ?
“Tapi Tante, saya ingin …”
“Engga, To. Sabar aja ya, yang…”
Aduh, pusing juga aku, keinginan sudah sampai ke kepala.
“Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum.
“Engga bisa juga, To. Itu namanya kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga kata Tante.
“Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu” kataku sambil memeluknya dengan mesra.
Ternyata ada yang belum aku ketahui tentang wanita
Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 – 5 hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati.
Pulang sekolah agak kaget aku mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya.
“Engga senam, ‘yang ?”
“Engga, lagi banyak-banyaknya”
“Apanya yang banyak ?”
“Ah,
kamu. Ya mens-nya” Aku mengerti. Tapi berarti hilang juga kesempatanku
siang ini menyatroni mBak Mar. Paling tidak aku harus menunggu 2 hari
lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau menunggu sampai Tante
“bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom Ton dan
Tante masuk kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV. Aku masuk
kamar duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV dimatikan,
lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.
***
Sengaja
aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada ulangan Fisika dan aku
merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa konsentrasi belajar, ingatanku
ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah beberapa hari aku tak bersetubuh,
pusing aku, mana bisa belajar di rumah. Pagi ini kesempatan terakhirku
untuk belajar Fisika menghadapi ulangan nanti. Belum banyak kawan yang
datang, cuma ada Tono, Edi dan Rika yang lagi ngrumpi. Dito belum
nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok, lalu mencoba
berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan
soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus
sempat “masuk’ ke otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan
senyuman yang amat manis. Yuli memang manis, apalagi kalau senyum. Masih
ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman sekelasku yang kugambarkan
badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar dan wajahnya manis.
Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho! Sering
saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin
guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin
menonjol aja. Aku sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang
memperhatikan Yuli. Entah ini hanya ge-er saja, kulihat Yuli begitu
ceria kalau berdekatan denganku.
“Rajin bener. belajar Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku.
“Ah engga. Justru karena aku males, baru sempet belajar sekarang” sahutku
“Pinjam catatan Matematiknya dong Tar”
“Matematik ? Kan entar ulangan Fisika”
“Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet jawaban soal kemarin”
Aku
ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli membiarkan
tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik tangannya,
without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener .. Lalu dia
dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang serius banget
kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya. Dia mungkin tahu aku
melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela
kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh
di dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi
daging itu terlihat sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah
seandainya ..khayalanku melayang tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling.
Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya ada 2 kawan yang tadi, lagi
asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi menghadap ke depan
kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli.
Segera saja
tangan kananku merangkul bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan
dengan memegang dagu dan menariknya. Mata Yuli sedikit membelalak, agak
kaget mungkin, tapi tak ada tanda-tanda penolakan. Ah. bibir merah
membasah yang menggairahkan. Kucium bibirnya. Dan … Yuli membalas ganas
ciumanku..!
Tanganku mulai membuka kancing baju putih itu, lalu
empat jariku menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan lumayan besar.
Aku meremas. Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras.
Tangannya kepangkuanku. Meremas juga. Sambil masih berciuman, aku
melirik dua temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman!
Bibirku
menelusuri lehernya yang licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah
terbuka semuanya. Kulepas baju seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga
rebah di bangku sekolah!
Aku menindihnya hingga tubuh kami
“lenyap” dari pandangan teman-teman tadi kalau mereka menengok ke
belakang. Kuciumi habis-habisan kedua bukit perawan itu. Aku yakin bukit
kembar ini belum tersentuh oleh “pendaki” manapun. Keras, dan padat.
Aku tak sanggup menahan lagi. Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di
badan, tapi meriamku sudah nongol tegak dari rits celana, siap.
Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke atas. Kupelorotkan celana dalam
krem-nya…
Amboi … bulu-bulu halus, merata di seluruh permukaan
kewanitaanya.. Luar biasa.. Masa aku kerjain di sini, di kelas ? Biar
saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ? Peduli amat. Kalau sudah
begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli sudah
merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar. We got the point no
return!
Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya masih
nempel. Biar saja, tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku ke “tempat
yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya, lalu
mulai menusuk.
“Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh.
Mentok. Padahal baru “kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan.
“Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata.
Buset!
Susah bener. Vagina yang satu ini sempit benar. Apa betul, Yuli masih
perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya kalau sama Tante Yani tusukan
begini sudah mampu mencapai “dasar”.
Aku tusuk lagi lebih kuat, bahkan sekuat tenagaku. Dan …..
“Heh! ngelamun aja!”kudengar suara agak membentak. Suara Yuli!
Aku tersadar.
Aku kembali ke alam nyata.
Kembali dari lamunan nakal.
Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di sebelahku ini.
Gadis yang baru saja mengagetanku!
Ah.sialan. Kenapa aku begini ?
Gara-gara mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang..
***
Hari
berikutnya aku kurang beruntung. Tante ada di rumah mengajakku ngobrol.
Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh molek ini belum bisa “dipakai”.
Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya cukup membuatku
kepingin.
“Tante…” panggilku dengan suara serak”
“Hmm ?”
“Saya pengin, Tante”
“Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas”
“Bukan begitu, Tante. Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…”
“Iya, Tante. Saya siap setiap saat” kataku meniru iklan
“Dasar…….! Dua hari lagi”
“Lama bener..”
Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi menyenangkan.
Tante
sedang duduk di sofa menyulam. Begitu datang aku langsung menyingkirkan
kain sulamannya, lalu kucium pipi dan kemudian bibirnya.Aku langsung
tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna kesukaannya, Tante tak
memakai BH.
“Mandi dulu sana, To”
“Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah.
“Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum, belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada pembalut di sana.
“Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak berkutang.
“Pokoknya kamu mandi dulu”
Aku mandi dan mengganti baju dengan penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante.
Aku
keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante masih duduk di situ, hanya
kancing gaunnya telah dibuka sampai perut, mempertontonkan sepasang buah
dada yang mengagumkan. Luar biasa. Berani benar Tante ini, bertelanjang
dada di ruang tengah. Jelas belum bisa bersetubuh, tapi kelakuan Tante
ini menandakan ada permainan apa lagi nih.
Langsung saja kuserbu buah dada itu.
“Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku.
Belum puas aku bermain dengan dada, Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-ku!
“Tante… Si Mar nanti…..”
“Engga ada, lagi pergi…”
Dibukanya
resleting celanaku, diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya
penisku yang langsung tegang, digenggam pangkalnya, terus diciumi
‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya!
Ooooohhh, nikmat sekali
permainan baru ini. Suasana baru. Bayangkan. Di ruang tengah, berdua
masih berpakaian, aku hanya mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya
dengan bertelanjang dada! Oh, indahnya dunia ini.
“Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.”
Kepala Tante bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit dan bergerak menelusuri permukaan penisku.
“Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..”
Tante
terus saja. Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai lupa diri tak
berbuat apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih!
Kedua tanganku meremasi sepasang buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…!
Ya,
geli. Aku hampir ke puncak. Entah mengapa kali ini aku cepat mendaki.
Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante merayapi permukaan kulit
kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini.
Aku tak mampu menahan lebih lama lagi.
Tante
rupanya tahu kalau aku hampir sampai, ia mempercepat gerakannya.
Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau sampai menumpahi mulut Tante
dengan spermaku.
Segera..ya..segera sampai….
Dilepasnya kulumannya, tangannya yang memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam.
“Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap.
Beberapa
detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh Tante. Kucium
mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di saputangan. Ada lagi,
makin sedikit…..
Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih menggenggam dengan saputangan.
“Terima kasih, Tante…”
“Enak, To ?”
“Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu.
“Masih pusing ?”
“Hilang, Tante. Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas.
“Tante sendiri, gimana dong, Tante ?”
“Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu”
Kupeluk lagi Tante lebih erat. Aku makin sayang saja sama Tanteku ini.
“Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang sama Tante” kataku jujur.
“Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….”
“Iya, habis sudah tiga hari engga keluar.”.
***
Sejak
peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin itu aku jadi makin
berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang ini. Waktu Tante sedang
duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya dari belakang dengan
kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi Tante.
Sewaktu
aku sedang makan siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat
sehingga perutnya hanya berjarak beberapa senti dari pipiku. Kucium
bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku, dimasukkan ke balik gaunnya,
langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam di balik gaun Tante.
“Sudah bersih, Tante ?”
“Sudah..”
Kuangkat
gaun itu sehingga ‘rambut’ yang menggemaskan itu nampak. Aku langsung
tegang, berarti siang ini bisa. Aku langsung berdiri meninggalkan
makanku, memeluknya.
“Tunggu dulu” kata Tante sambil mendorongku terduduk kembali.
“Kali
ini Oommu dulu, ya..” Katanya sambil meninggalkanku masuk ke kamarnya.
Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar. Seharusnya aku tahu, mobilnya ada di
garasi. Tante masih sempat melihatku sambil tersenyum, sebelum ia
mengunci kamar.
Aku makin tegang ketika setengah jam kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar..
Aku masuk kamar, tak tahan di situ.
Tante sudah selesai mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya. Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah.
Aku gagal mencoba berkonsentrasi membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang muncul. Ah, sialan..
Setelah
mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak tenang. Aku ‘kan hanya
kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin, kenapa musti sewot ?
Kelaminku mulai surut.
Tapi itu tak lama.
Tiba-tiba Tante
masuk, langsung mengunci pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya ke
mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga wajahnya. Tak peduli. Aku
serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku langsung
membesar lagi. Tante dengan tergopoh-gopoh membuka resleting celanaku,
mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang. Ia melangkah naik ke
pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya, dan….blessss aku langsung
masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante langsung main. Di kursi lagi.
Untung aku cepat siap. Jadilah kami ‘berkudaan’ di kursi. Tante semangat
sekali nampaknya. Dengan posisi berpangku berhadapan ia di atas, Tante
leluasa mengeksplorasi penisku. Aku lebih pasif. Hanya kadang-kadang
saja menusuk, soalnya berat, harus mengangkat tubuhnya dengan pinggulku.
Edan!
Setengah jam yang lalu aku mendengar Tante mengerang di kamarnya
bersama Oom Ton, sekarang ia berkudaan denganku, sementara suaminya
(mungkin) sedang pulas di kamar sebelah!
Seakan ia tak ada
puasnya. Atau jangan-jangan ia belum puas dengan suaminya lantas
melanjutkan di sini ? Hanya Tante yang tahu. Betapa trampilnya ia
menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan mengurut penisku,
berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku, membuat aku cepat
naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba tangannya
mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat, mengejang. Di
dalam sana berdenyut-denyut. Bahuku digigitnya. Getaran tubuhnya makin
hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang. Tante sedang
melayang di puncak..
Akupun hampir sampai. Aku sekarang yang
menggenjot. Tante teriak. Vaginanya menjepitku teratur menandakan Tante
telah orgasme. Aku tak peduli, sebab aku belum, cuma hampir sampai,
terus menggenjot. Tante masih mencekeram erat, secara pasif mengikuti
gerakan tusukanku yang naik-turun, lalu…akupun mengejang, melepas.
Heran, Tante mengerang lagi, seharusnya aku yang teriak. Tante ikut
menikmati ejakulasiku.
Sejurus kemudian kami diam, masih berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih berkejaran.
“Tante hebat…” aku membuka percakapan
“Apanya yang hebat, justru kamu yang hebat. Tante tadi ‘kan duluan”
“Ah, kita hampir bersamaan kok tadi”
“Jadi apa maksudmu hebat”
“Tante bisa dua kali berturutan”
“Ooh itu, engga juga sih..”
“Tadi saya mendengar, waktu Tante sama Oom”
“Ah, masa.?”
“Iya, Tante mengerang, saya jadi ngiri.”
“Kan kamu dapat juga”
“Itulah makanya Tante bisa dua kali”
“Kamu juga bisa dua kali, waktu malam itu.”
“Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu”
“Sebenarnya Tante tadi cuma sekali”
“Yang benar, Tante. Barusan Tante ‘kan sampai puncak..”
“Iya. Cuma itu. Sama kamu”
“Tadi sama Oom..” aku mulai menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini.
Tante diam saja.
“Kok diam, Tante” aku benar-benar ingin tahu.
“Ini kan masalah Tante dengan Oom-mu, rahasia dong”
“Please, Tante, cerita dong. Tante kan isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras.
“Kamu engga usah tahu”
“Ayolah, Tante”
Tante diam lagi agak lama. Lalu….
“Sama Oommu Tante belum sampai …..” Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme dengan suaminya lalu melanjutkan denganku.
“Ah masa, Tante”
“Itulah kenyataannya, To. Oom-mu engga bisa memuaskan Tante”
Mungkin inilah sebabnya, Tante tiap siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati.
“Pantesan……”
“Pantesan apa ?” tanya Tante
“Tadi Tante langsung masuk, engga pemanasan dulu”
“Tante tadi senewen, To. Ada rasa menggantung, ada yang harus dituntaskan”
“Untung saya tadi udah siap”
“Sory ya To…”
“Engga apa-apa, Tante. Saya tadi juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu”
“Kamu
harus mulai terbiasa begini, To. Seperti yang Tante bilang dulu, Tante
butuh kamu. Jangan kaget kalau tiba-tiba Tante pengin. Tante harus
mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa gila..”
“Saya siap,
Tante, Betul. Kapanpun Tante butuh saya, silakan saja Tante. Saya juga
menikmatinya, Tante. Tanpa pemanasanpun saya engga apa-apa. Tadi saya
bilang begitu, itu hanya akan lebih nikmat kalau dengan pemanasan. Kalau
tidakpun engga apa-apa”
“Syukurlah, To. Pemanasan gimana yang kamu inginkan, To ?”
“Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan dengan kamar Tante.
“Disitu kan ada pintu yang tembus ke kamar Tante”
“Saya engga perhatikan, Tante”
“Kalau kunci pintu itu Tante cabut, kamu bisa lihat ke kamar Tante dari lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante maksud ?”
“Belum, Tante”
“Lubang kunci itu lurus ke tempat tidur..”
Amboi.
Berarti, kalau aku mengintip lewat lubang itu, aku bisa lihat kejadian
tempat tidur Tante. Hubungannya dengan pemanasan, berarti….hebat, ide
yang hebat. Kucium bibir Tante dengan gemas.
“Ide brilian! Setuju banget tante!” kataku gembira.
“Ntar dulu, setuju apa ?”
“Aku akan mengintip Tante sama Oom, sebagai pemanasan”
“Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila, engga”
“Engga! Saya mau Tante. Kita coba nanti malam ya.?”
“Semangat banget”
“Pengalaman baru” Aku sangat ingin melihat bagaimana Tante melayani Oom, bagaimana permainan Oom Ton!
Tante diam lagi. Hanya sekejap, lalu.
“To,
Tante ingin main sama kamu di tempat terbuka…” kaget lagi aku. Tempat
terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget. Aku ingat kemarin, Tante
mengulumiku di ruang tengah. Nikmat.
“Ide Tante memang hebat-hebat. Saya suka Tante. Tapi aman engga ?
“Itu masalahnya”
“Kita cari kesempatan, Tante. Pasti nikmat deh”
Tante pelan-pelan bangkit, melepas.
“Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya mengiringi pencabutan ini.
Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi.
Selesai
dari kamar mandi aku lihat kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa
pengasuhnya keluar. Pelan-pelan aku masuk, hati-hati pintunya kukunci.
Ini dia pintu penghubung tadi. Aku mengintip. Tak melihat apa-apa,
kuncinya masih menggantung. Aku kecewa. Kuncinya hanya bisa dicabut dari
arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku mencari Tante, lagi di
kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu Tante keluar.
Benar, Tante keluar, segar sekali nampaknya.
“Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya.
Dari
lubang kunci di kamar Luki aku bisa melihat dengan jelas dari arah
kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya bercelana tidur. Kubayangkan, dari
arah bawah ini aku akan bisa lihat kelamin mereka berdua, baik posisi
‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante di atas. Kecuali kalau mereka
memutar posisi dengan kakinya ke arah bantal, aku hanya bisa melihat
kepala mereka, paling-paling dada Tante.
***
Malam itu
sekitar pukul 10, aku sudah berada dalam kamar Luki yang sudah pulas.
Dari lubang kunci aku lihat mereka sedang membaca. Hanya sekali-sekali
mereka bicara. Oom Ton mengenakan pakaian tidur lengkap, Tante memakai
daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya aku disini. Bisa saja
tiba-tiba Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya. Jadi setiap Oom
bangkit, aku harus siap-siap. Kalau Tante sih, aku engga perlu bereaksi.
Tegang juga aku.
Ah, ternyata Tante juga berpakaian ‘lengkap’.
Sekarang aku bisa dengan jelas melihat celana dalam merah jambu itu,
karena Tante mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya mereka
akan main malam ini. Setengah jam aku capek menunggu, Oom mematikan
lampu baca, lalu tidur. Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu tidur,
tapi cukup jelas aku bisa melihat tubuh mereka.
Dengan kecewa aku kembali ke kamar dan tidur….
Esok
siangnya, ketika kami baru saja melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan masih
terlentang berdua tanpa busana, kutanyakan pada Tante tentang semalam
aku tak jadi menyaksikan ‘pertunjukan’ Tante dan Oom main.
“Yaa.itulah
To, Oom-mu memang jarang meminta, paling dua kali atau bahkan cuma
sekali seminggu. Makanya Tante butuh ini” jawabnya sambil mencekal
kelaminku.
“Kenapa engga Tante yang minta”
“Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu”
“Tak ada salahnya Tante yang mulai”
“Betul,
memang. Tapi, sering Tante malah kecewa. Oom-mu kan hobinya kerja, jadi
mungkin capek. Lebih baik Oom-mu yang mulai, itu artinya dia
betul-betul butuh”
“Sayang, memiliki badan sebagus ini tak
optimal dimanfaatkan” kataku sambil mengelus buah dadanya. Tak
bosan-bosannya aku pada buah kembar yang indah ini.
“Sekarang sudah optimal”
“Ya. Dan sayalah yang beruntung”
“Tante juga beruntung punya kamu”
Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah begini, aku bisa lupa semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar.
Aku berguling, jadi menindihnya.
Pahaku mendesak di antara pahanya. Penisku mencari-cari. Dan….aku masuk lagi. “Heeeeh!’ Tante teriak kaget. Aku mendorong. “Eeeeeeeehhhhhh” lenguhnya. Sekarang ia tak kaget lagi. Aku menarik dan mendorong. Aku menikmati. Tante juga. Aku tak ingat bahwa ia tanteku. Tante lupa bahwa aku kemenakannya. Bahkan lupa bahwa kami berdua manusia. Begitu ‘gila’nya kami bermain, kami lebih mirip hewan. Hewan yang sedang menikmati reproduksi. Reproduksi bukan untuk mendapatkan keturunan, cuma untuk kenikmatan. Dan..kenikmatan kami dapatkan secara bersamaan. Gila! Sesiang ini kami telah dua kali bersetubuh! Memang edan. “Edan kamu, To…” komentar sesudahnya. “Supaya optimal, Tante..” komentarku juga.
Kurasakan
bagian dalam vaginanya berdenyut-denyut meremas penisku. Permainan yang
melelahkan. Aku jadi lemas, penisku jadi pegal. Pegal-pegal nikmat ….!
Nah
itulah cerita panas dewasa yang bisa saya berikan kepada anda semua dan
sekedar tambahan jika ada kesamaan nama serta tempat kejadian itu
hanyalah kebetulan saja serta baca juga artikel yang lain dari berita
terbaru yang tidak kalah serunya yaitu cerita dewasa tante girang sekian
dan terima kasih.