Tidak ada lagi kebencian! Membenci orang itu sifat yang sangat
kampungan dan useless! Jika kau menyimpan kebencian pada seseorang,
temui orang itu, kenali pribadinya lebih dalam dan katakan padanya,
"Aku sangat menyukaimu!" Kalau perlu bawakan setangkai bunga mawar
(asal jangan yang kering) atau sebuah undangan makan malam dan kaulah
yang mentraktirnya. Dijamin hidupmu akan awet, dan nantinya tidak akan
bertambah banyak lagi orang yang mati muda karena stroke, sakit
jantung, kanker, atau hipertensi.
Seminggu berlalu semenjak perkenalan itu. Akhir minggu ini sengaja
aku tak pulang ke rumah orang tua angkatku. Aku sudah menjelaskannya
pada Mr Walsh kalau aku tak bisa pulang saat itu karena ada banyak
tugas kuliah yang harus dikerjakan di Melbourne. Aku bilang padanya,
mungkin baru minggu depan aku akan melihat cucunya yang baru lahir.
Syukurlah, Mr Walsh bisa memakluminya, meski entahlah apa yang ia
maklumi karena aku berbohong saat itu. Aku sebenarnya tak punya satu
tugas pun dari Mr Brown di akhir minggu itu. Tentu saja alasan itu
hanya kubuat-buat supaya aku bisa tetap di Melborne dan menghabiskan
akhir pekanku bersama Zai-Zai. Kami sudah ada janji, dan ia pun tak
pulang ke rumah orang tua angkatnya di akhir pekan itu.
Jam sepuluh pagi, dengan menggunakan jetmatic, aku meluncur ke
aparteman Zai-Zai di daerah port Philips, cukup jauh dari apartemanku.
Di bangunan berlantai sepuluh itulah, Zai-Zai tinggal bersama dua orang
teman laki-lakinya dari Taiwan, John Lung dan Nicky.
Aku baru kenal siang itu dengan mereka berdua. John berperawakan
tinggi besar, berotot dan berkaca mata minus. Sedangkan Nicky, si
tampang baby face, adalah cowok yang murah senyum dan sangat
bersahabat, ia sangat cute. Aku merasa langsung akrab dengan keduanya
siang itu.
Ketika aku tiba, Nicky yang membukakan pintu untukku dan
mempersilahkan aku masuk. Sementara itu Zai-Zai masih mandi. Aku
disuguhi pepsi dingin oleh Nicky, dan ia juga yang menemaniku ngobrol
sebelum akhirnya John Lung keluar dari kamarnya dan bergabung bersama
kami. Ternyata kita pun dari kampus yang sama, malahan Nicky seangkatan
denganku. Sedangkan John Lung seangkatan dengan Zai-Zai, bahkan mereka
satu kelas di kelas graphic design. Aku dengar sih, katanya di kelas
graphic design banyak cowok homo. Tapi entahlah, aku juga tak tahu
pasti.
Tidak berapa lama kemudian, Zai-Zai keluar dari kamarnya sambil
menghanduki rambut panjangnya yang masih basah. Ia tersenyum begitu
melihatku, maka kubalas juga dengan sebuah senyuman. Oh my God, he is
very cute! he looks so beautiful with his long hair.
"Just wait me a minute!" kata Zai-Zai seraya masuk ke kamarnya
lagi, kamar yang sama dimana John Lung keluar tadi. Aku terpana melihat
temanku itu sampai ia tak tampak lagi di balik pintu kamar. Aku baru
tersadar dan kaget saat tangan John Lung menepuk pundakku, "Hei, kenapa
kau bengong?" tanyanya sambil memandangku dengan tatapan aneh,
seoleh-olah hendak menerkamku saja. Mungkin maksudnya hendak bergurau,
tapi entahlah, menurut penilaianku John Lung sangat tidak pintar
bergurau.
Acara pertama kami siang itu adalah makan siang. Zai-Zai
menunjukkan padaku sebuah restoran fast food yang tidak jauh dari
apartemannya, sebuah restoran kecil berarsitektur Itali. Kami memilih
tempat duduk di pojokan ruangan, bersandar pada tembok, sambil
menikmati beef burger, french fries dan segelas pepsi.
Kami juga mengobrol banyak hal sembari makan, masih ada banyak hal
yang perlu aku kenali dari sahabat baruku ini, dan mungkin begitu juga
sebaliknya yang dirasakan Zai-Zai. Saat aku menanyakan perihal
perkenalannya dengan Nicky dan John Lung, Zai-Zai sempat tersenyum
sebelum menjawab, "Aku mengenal mereka di dalam pesawat. Sebetulnya aku
sudah tahu John Lung jauh sebelum kejadian itu, ia satu kelas denganku.
Tapi di kelas, kami tak sempat saling berkenalan. Kau tahu sendiri kan,
John Lung itu orangnya agak pendiam dan kurang pintar bergaul."
"Yah, tapi sekarang kalian sudah seperti Kakak beradik saja, bahkan tinggal bersama dalam satu aparteman,"
"Betul, kami bertiga memang kompak dan sangat dekat," sahut Zai-Zai sambil menggigit burgernya.
Aku menyeruput habis pepsi cola-ku, aku sudah selesai makan. Aku
tunggu beberapa saat sampai Zai-Zai pun selesai makan. Selama aku
menunggu, kuamati muka Zai-Zai yang duduk di sebelahku dengan
keasyikannya menyantap burger. Dugaanku selama ini tentang Zai-Zai
ternyata salah besar, Zai-Zai sama sekali bukan orang yang patut
dibenci, ia seorang teman yang baik, bahkan sangat baik! Aku suka
berteman dengannya. Sebetulnya sejak kejadian di taman itu, aku
berusaha mengikis kebencianku dan dendam kesumatku padanya.
***
Tiga hari kemudian setelah aku bermain-main ke aparteman Zai-Zai.
Jam enam pagi, ada SMS yang masuk ke handphone-ku. Aku membacanya dalam
keadaan setengah mengantuk, karena aku biasanya bangun jam 7 pagi.
Begitu kuketahui dari Zai-Zai, aku mengumpulkan tenagaku untuk duduk
bersandar pada tembok dan menyegarkan mataku kembali, "Zai-Zai
mengundangku ke apartemannya nanti malam? untuk apa?" gumamku. Hari ini
bukan hari libur, lagi pula aku baru pulang kuliah jam 5 sore. Aku baru
saja hendak membalas, ketika SMS yang kedua masuk, masih dari Zai-Zai.
"Jangan sampai tidak pergi. Kau tidak ingin mengecewakan sahabatmu
di hari ulang tahunnya yang ke-21 kan? datanglah sebelum jam 7 malam!"
kata Zai-Zai lewat SMS keduanya. Aku berpikir beberapa saat, kemudian
kuurungkan niatku untuk tidak datang.
"Aku pasti datang, teman! tunggu saja!" kataku dalam hati sambil
memainkan-mainkan jari-jemariku di tombol handphone untuk membalas SMS
Zai-Zai.
Sesudah itu, aku mencoba tidur lagi, tetapi tidak bisa. Kalau sudah
bangun pagi, aku memang tak bisa tidur lagi, menjengkelkan! Inilah
salah satu bentuk pengorbananku yang terbesar untuk seorang teman.
Mungkin bagi kebanyakan orang, bangun pagi adalah perkara yang mudah,
bagaimana mungkin bisa digolongkan ke dalam suatu "pengorbanan"?
Bukannya aku mau membela diri, seandainya kau termasuk orang yang punya
kebiasaan bangun telat, kau akan tahu sendiri betapa susahnya bangun
jam enam pagi.
Satu hal lagi yang harus kulakukan pagi itu adalah menelepon Nina
untuk membatalkan kencan kami nanti malam. Berat juga bagiku
melakukannya sekali lagi setelah berulang kali aku mencari-cari alasan
untuk menghindar darinya. Nina menjadi pacarku sejak tiga bulan yang
lalu, ia gadis yang baik, namun entahlah aku sebenarnya tak pernah
betul-betul mencintainya. Kami tidak cocok, itu saja alasannya.
Tapi kami sulit untuk memutuskan hubungan ini, karena sejak dahulu aku
punya janji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah memutuskan
pacarku, kecuali dia yang minta putus. Dan justru itulah yang kini jadi
masalah, karena saking baiknya, Nina selalu memaklumi alasanku tak bisa
menemaninya. Selalu! Tak pernah sekalipun aku mendengar ia mengomel
atau memakiku. Ya Tuhan, aku merasa makin tidak layak saja hidup di
dunia ini, kenapa pria sepertiku ini selalu dipertemukan dengan
gadis-gadis yang berhati emas, sehingga kami berdua menjadi ibarat
langit dan bumi yang tidak sepadan.
Hari itu pun Nina tak marah sama sekali, katanya, "Okelah, tidak
apa-apa. Kebetulan, kemarin sore Tony mengajakku ke pesta temannya
malam ini. Boleh kan aku ikut bersamanya? Kalau kau keberatan aku tidak
ikut,"
Ku anggukkan kepala sekali, "ok, pergilah! Sekalian aku titip salam
untuk Tony, dan CD-nya besok lusa baru bisa kukembalikan!" sahutku
kemudian. Untuk merebut Nina, Tony sebenarnya bukan sainganku, jadi aku
tak perlu kuatir cowok kelimis itu akan merebut pacarku. Bukannya
sombong, tapi Nina sendirilah yang pernah bercerita padaku jauh sebelum
kami berpacaran, kalau ia tak suka dengan sifat Tony yang pemarah dan
gayanya yang sok kaya.
Jam lima kurang sepuluh, Mr Jansenn sudah mengakhiri jam
pelajarannya, ia bahkan sampai meminta maaf lebih dari sepuluh kali
untuk itu kepada mahasiswanya. Aku sih enjoy saja, "Kebetulan sekali!"
kataku dalam hati. Segera saja kurapikan buku-bukuku dan kumasukkan ke
dalam tas, lalu aku berlari menuju parkiran untuk menjemput Jetmatic-ku
di sana. Saat itu juga, aku langsung meluncur ke aparteman Zai-Zai
dengan jetmatic andalanku.
Saat aku tiba, kurang lebih jam lebih sedikit, acaranya tentu saja
belum dimulai. Zai-Zai yang membukakan pintu untukku. Ku pikir malam
ini, akan ada pesta, makan-makan, atau semacamnya. Tapi begitu aku
melangkahkan kaki memasuki ruangan aparteman Zai-Zai, ternyata
keadaannya sama persis dengan yang waktu itu ketika aku bermain kemari,
tak ada yang tampak istimewa. Kami berpelukan-tepatnya akulah yang
memulainya-aku ucapkan selamat ulang tahun untuk sohibku yang satu
itu,"Happy Birthday, Bro!" ucapku sesaat di dalam dekapannya. Meski tak
melihat, aku tahu Zai-Zai tersenyum saat itu dan ia pasti bahagia aku
datang.
"Thanks! Duduklah, aku akan ambil minum dulu! Kau suka champagne?"
tanya Zai-Zai sebelum ia bergegas menuju dapur. Aku rada kaget
mendengarnya, "Champagne? You must be kidding, man!" sahutku sambil
mencibir.
"Aku serius, kau bisa minum? kita memang akan pesta champagne
malam ini. Tapi kalau kau tidak suka, aku carikan yang lain. Air kran
juga lumayan!" gurau Zai-Zai sambil ketawa. Jujur, aku belum pernah
minum sampai usiaku saat itu, apalagi sampai mabuk di meja bar, tidak
pernah sekali pun! Jadi, aku kaget saja ketika Zai-Zai menawariku
champagne. Tetapi karena aku tak ingin mengecewakan Zai-Zai, aku pun
terpaksa mengikutinya. Pesta champagne? pasti seru juga, pikirku.
Kami berempat duduk melingkar mengelilingi satu-satunya meja yang
ada di ruang tamu, di hadapan kami sudah ada lima botol besar champagne
dan beberapa gelas di sekelilingnya, itu saja! Tidak ada kue tart dan
lilin-lilin. Mulanya, aku mencoba meminum tak sampai seperempat gelas,
itu saja sudah membuat kepalaku terasa lebih berat dan jantungku
berdebar-debar tak karuan, kandungan alkoholnya pasti sangat tinggi.
Zai-Zai dan Nicky menertawaiku, apalagi ketika mereka melihat mataku
sudah basah dan keringat mengucur di sekujur tubuhku. Sungguh
kelewatan, di cuaca panas seperti ini malah disuguhi champagne, apa
tidak ada pesta yang lebih konyol dari ini?