Tahukah kau bagaimana rasanya sperma?!?
Pernahkah kau mencicipinya walau hanya setetes?!? Yah, sperma! Yang aku
maksudkan di sini bukanlah merk wine terbaru. Aku pernah, beberapa
kali! Berhati-hatilah, efeknya lebih dahsyat daripada obat psikotropika
mana pun, bisa bikin ketagihan!
Kalau bicara tentang sperma, bagiku hanya ada satu yang paling
enak! Tapi sayangnya, aku tak bisa berbagi dengan siapa pun, karena
yang satu ini hanya untukku! Dalam perkara yang satu ini, aku telah
merelakan diriku untuk menjadi seseorang yang sangat egois. Pokoknya
hanya aku yang boleh menikmati sperma Zai-Zai. Titik.
Setiap kali aku menghabiskan waktuku untuk melamun seorang diri,
seringkali sosok cowok Taiwan berambut gondrong itu muncul di benakku.
Aku diingatkan kembali tentang louivelle park, tempat di mana kami
berkenalan di negeri kanguru sana. Jauh sebelum itu, aku memang pernah
melihatnya di kampus, ketika ia menjadi ketua komite penerimaan
mahasiswa baru. Kebetulan, dia memang seniorku, kami beda setahun.
Sejak pertama kali melihatnya, aku sama sekali tidak menyukainya.
Menurutku, dia termasuk pria yang kasar, dan pasti tak ada gadis
baik-baik yang mau padanya. Kecuali gadis yang mencari tampang
gantengnya saja atau kalau tidak, mata duitan! Memang harus aku akui,
Zai-Zai cakep, face-nya chineese sekali. Matanya sipit, hidungnya
mancung, dan bibirnya sesensual bibir idolaku, Aaron Kwok. Tapi
sikapnya waktu itu memang sungguh menyebalkan, sampai-sampai aku ingin
sekali menonjok mukanya. Jangan main-main dengan orang Indonesia yang
satu ini, ancamku dalam hati ketika cowok sok hebat itu berdiri sambil
mengacungkan jari tengahnya di depan mukaku.
Louivelle park di waktu sore, udara musim panas membuatku gerah
untuk terus-terusan berada di dalam rumah Mr. Walsh yang tidak ber-AC
ini. Aku memutuskan untuk keluar rumah dengan bersepeda. Saat itu, aku
sudah punya tujuan jelas kemana aku akan mengayuh sepeda mustangku,
tentu saja ke Louivelle park, sebuah taman kota yang letaknya tak jauh
dari rumah orang tua angkatku, Mr Walsh. Apalagi jam empat sore,
biasanya taman kota itu cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain
ayunan atau scratch, atau sekedar berlatih semaphore. Seringkali aku
juga bergabung bersama mereka, di samping aku suka dengan anak-anak,
menurutku tak ada salahnya juga mengulangi masa kanak-kanakku yang
hampir terampas karena minimnya waktu bermain.
Setiap akhir minggu, aku pasti bermain kemari, mengunjungi orang
tua angkatku. Sedangkan, pada hari biasa, aku memilih untuk tinggal di
sebuah aparteman dekat kampusku di Melbourne yang berjarak kurang lebih
18 kilometer dari kota ini. Tapi sabtu sore itu aku sama sekali tak
punya firasat apa pun, aku memutuskan bersepeda ke louivelle park hanya
semata-mata untuk bermain dan mengendorkan saraf-saraf otakku yang
seperti benang kusut setiap akhir minggu tiba. Sore itu, Aku sama
sekali tak pernah berharap mendapatkan sebuah kejutan di tengah
perjalananku menuju louivelle park.
Aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan
kota kecil yang rindang penuh ditumbuhi pepohonan di kanan-kiri jalan
raya itu, sekilas mirip boulevard, tapi boulevard yang sepi. Terus
terang, Aku telah jatuh cinta dengan kota kecil ini sejak aku mengenal
keluarga Walsh dua tahun silam, suasananya tidak seperti hiruk pikuknya
kota Surabaya atau Jakarta. Namun tiba-tiba, di tengah jalan, aku
tersentak kaget karena nyaris menabrak seseorang, bersamaan dengan rasa
kagetku, tanganku langsung mengkeram rem dengan begitu kuatnya, "hampir
saja!" kataku seketika sambil menjejakkan kakiku ke jalan aspal.
Seorang anak muda menatap ke arahku, tepat di depan setang sepedaku.
Sorot matanya memancarkan rasa kaget bercampur marah. Aku mendengar ia
mengumpat, tapi bukan dalam bahasa Inggris, melainkan dengan bahasa
Mandarin. Meski tak mahir, aku mengerti sedikit Mandarin.
Ketika aku balas menatapnya, aku malah jadi lebih kaget lagi.
Sepertinya tampangnya tak begitu asing bagiku. Aku teramat yakin kalau
pernah melihatnya sebelum ini. Yah, dialah Zai-Zai, seniorku di kampus.
Aku berusaha menenangkan diri dan mengatur denyut jantungku kembali, kemudian aku membuka mulutku, "Sorry!" kataku.
Zai-Zai tak menyahut, ia kemudian melintas begitu saja di depan
sepedaku. Melihatnya bertingkah seperti itu, membuat kejengkelanku naik
sampai di ubun-ubun. Aku ingin sekali mengejarnya, mencengkeram
pundaknya dan memberi sedikit pelajaran atas sikap sombongnya. Tapi
entah mengapa, aku serasa tak kuat mengangkat kakiku untuk berlari
mendekatinya. Aku hanya terpaku di tempatku berdiri saat itu, di tengah
jalan raya. Lagi pula, kali ini aku yang salah karena tak berhati-hati
sehingga hampir saja menabrak Zai-Zai yang menyeberang di Zebra Cross.
Tapi jangan dipikir kedongkolanku surut, sama sekali tidak. Bahkan
ketika sampai di bangku taman, aku membanting sepedaku ke tanah. Aku
tak lagi berminat main scratch atau sepakbola dengan teman-teman
kecilku. Aku membanting tubuhku ke kursi taman, kemudian mengangkat
kedua kakiku naik ke atas kursi. Aku termenung, tatapan mataku hampa
menghadapi lapangan rumput kecil yang ada di depanku. Hanya satu yang
aku pikirkan saat itu, kenapa aku makin benci saja dengan orang itu,
setiap kali melihat tampangnya, aku malah makin tidak suka padanya.
"Sorry, apakah kamu melihat anjing pudel berwarna putih bermain di
sekitar sini?" tanya seseorang yang tiba-tiba menepuk pundakku dan
sudah berdiri di belakangku. Lamunanku pun langsung buyar seketika, aku
menoleh ke arah orang itu.
"Kau.. Kau yang tadi hampir menabrakku itu kan?" tanya orang itu ketika melihat mukaku.
Aku benar-benar kaget setengah mati waktu itu.
"Ap.. Apa?" sahutku gagap.
Zai-Zai kemudian mengambil tempat duduk di sampingku. Ia memandangku dengan tatapan galak.
"Kau lihat anjingku tidak?" tanyanya sekali lagi sambil mengeja kata-katanya. Aku menggeleng, "Tidak!"
"Oke, aku cari dulu anjingku. Sebentar aku kembali kemari, kita
pernah ketemu kan? Sepertinya aku harus membuat perhitungan denganmu,"
kata Zai-Zai sembari bangkit dari kursinya dan meninggalkanku, nadanya
seolah mengancam, dan memang seperti itulah kalau ia sedang berlagak
sok hebat di kampus.
"Yah, kita harus buat perhitungan! Aku ingin menonjok mukamu!" sahutku dalam hati.
Kembali kurapatkan kakiku lalu kulipat naik ke atas bangku taman.
Kenapa aku begitu bego, aku kelihatan begitu lemah dan bodoh di
hadapannya. Aku memang belum pernah berkelahi, tapi itu bukan berarti
aku pengecut. Umur lima tahun, aku sudah tidur di kamarku sendiri dalam
keadaan gelap, aku tidak pernah takut setan atau pun antek-anteknya,
aku juga suka memanjat pohon sampai ke cabangnya yang paling tinggi
dimana tak ada seorang pun temanku yang berani mencapainya. Pokoknya
aku tidak ada bakat pengecut. Titik.
Sepuluh menit, dua puluh, tiga puluh dan sejam, cowok sok hebat itu
tidak muncul-muncul juga. Aku sumpahin anjingnya tidak bakal ketemu
sampai empat puluh hari, moga-moga saja anjing pudel itu kecantol sama
salah satu anjing betina yang berkeliaran di sekitar taman, lalu mereka
berdua kawin lantas bulan madu ke Paris, biar sekalian bingung tuh
cowok! Tapi yah mungkin saja Tuhan tahu kalau harapanku itu terlalu
berlebihan, hampir saja aku mengambil sepedaku untuk pulang ketika
kulihat Zai-Zai kembali sambil menuntun seekor anjing yang berjalan
mendahuluinya.
Anjing kecil itu mengibas-ngibaskan ekornya sembari mendekatiku, "Ya
ampun, apa anjing ini kecantol padaku yah? Jangan-jangan aku yang
nantinya dibawa bulan madu ke Paris! Tapi tidak, belum pernah kulihat
ada anjing homo. Kalau memang ada, akan langsung ku kebiri saja dia!"
Zai-Zai mengambil tempat duduk di sebelahku, persis di tempatnya
sejam yang lalu. Rantai yang mengikat anjing kecil itu diikatkan pada
salah satu kaki kursi, tampaknya anjing itu harus pasrah tidak bisa
kabur lagi seperti tadi, ikatannya sepertinya sangat kuat.
Tak lama sesudah itu, Zai-Zai membetulkan posisi duduknya,
menatapku dan kemudian menjulurkan tangannya. Oh, tentu saja aku tahu
maksudnya. Dengan sedikit ragu, kubalas uluran tangannya sambil waspada
kalau-kalau ia membantingku mendadak. Ternyata dugaanku meleset, kami
berkenalan!
"Namaku Lau Yen Fung, biasa dipanggil Zai-Zai. Kau?"
"Steve.. Namaku Steven,"
"Sepertinya kita pernah ketemu sebelumnya, betul kan? Kau berasal dari mana?"
"Yah, kita satu kampus. Aku mahasiswa baru, dari Indonesia!"
Zai-Zai tertegun untuk beberapa saat lamanya, keningnya
berkerut-kerut naik turun, lalu dia ngakak sampai membuat jantungku
hampir copot saking kagetnya, "Ya.. Ya.. Ya, aku ingat! Kau anak culun
yang waktu itu kan?!? Kau tahu, kau sempat jadi primadona di kalangan
teman-teman seangkatanku. Lucu.. Lucu, sangat lucu!"
"Sialan, aku dibilang culun! Memangnya siapa dia, merasa lebih
hebat dariku?" umpatku dalam hati. Aku sengaja tak menjawab, karena
bagiku menjawab sepatah kata saja itu sama artinya dengan menyetujui
ucapannya.
Tetapi kemudian, Zai-Zai menurunkan volume tawanya, "Sorry kalau
aku salah bicara. Tapi menurut aku pribadi, kau sepertinya anak baik,"
katanya sembari menepuk sebelah pundakku.
Ia mengerling sekali padaku, aku balas dengan senyuman. Anak baik, yah
mungkin saja! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya. Kalau sudah, tidak
akan berlaku lagi predikat " a good boy" itu. Yah, biarlah waktu yang
bicara, kita tunggu saja apa yang akan terjadi kemudian.
Singkat cerita, sore menjelang malam itu, aku harus menghabiskan
waktuku berduaan saja bersama Zai-Zai. Semula ku pikir, aku pasti tidak
akan betah duduk berlama-lama sembari mengobrol dengan Zai-Zai di atas
bangku yang sama. Tapi ternyata aku justru merasakan sebaliknya, seolah
jam jam berputar lebih cepat saat itu, tepat ketika kulirik jam
tanganku sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Zai-Zai
ternyata teman ngobrol yang asyik. Ia suka sekali dengan binatang,
hobby nonton (sama denganku), dan maniak sepakbola.
Memang tak lama kami berbincang, kami harus pulang untuk makan
malam. Tapi malam itu, aku sudah tahu cukup banyak tentang kepribadian
teman baruku yang satu itu, juga tempat tinggal orang tua angkatnya
yang cuma berjarak beberapa ratus meter saja dari rumah Mr Walsh.
Kesimpulannya, aku menyukai kepribadiannya, dan itu sudah cukup untuk
menghapus bersih seluruh kebencianku padanya.