Posisi kaki Om Wi' kini menjadi lebih bebas. Dibentangkannya
lebar-lebar pahanya yang penuh bulu itu. Seolah memberiku kesempatan
untuk 'melahap'nya habis-habisan. Tangannya kemudian menekan kepalaku
untuk lebih menelusup ke bawah, ke wilayah kantung pelirnya. Tapi aku
agak kesulitan karena kepalaku terbentur batang kemudi. Dan Om Wi' pun
kemudian dengan sigap agak menyandarkan posisi duduknya untuk memberiku
ruang, sehingga kepalaku kini lebih leluasa menjelajahi
selangkangannya. Maka kujilati apa yang bisa kujilat. Kukerahkan bibir,
lidah dan hidungku untuk menelusuri setiap daging dan bulu yang ada
disitu. Aroma khas yang tercium membuatku makin semangat bermain-main
di daerah itu.
"Hend.. Hend..," bisik Om Wi' agak keras memanggil-manggil namaku.
Semula aku pikir ia tengah mengekspresikan rasa 'keenakan', tapi
ternyata ia memintaku untuk berhenti karena kami sudah sampai ke
tujuan. Pelan-pelan Om Wi' menghentikan mobilnya dan ketika kuangkat
kepalaku, di depan terlihat sebuah kompleks bangunan mirip resort.
"Itu mess perusahaan," katanya menjelaskan sambil tangannya sibuk
memakai kembali celana pendek bermudanya. Celana dalamnya ia biarkan
teronggok di bawah sebelum ia pungut dan diselipkan ke saku celananya.
"Kok 'CD'-nya nggak dipakai?" kataku sambil ketawa keheranan.
"Nanti juga dicopot 'kan?" jawabnya kalem.
Dasar! umpatku dalam hati. Tentu saja pikiranku jadi 'kemana-mana' mendengar kalimatnya itu.
Kami lalu turun dari mobil dan berjalan ke arah pos penjagaan.
Kelihatan sekali Om Wijoyo sudah kenal dan dikenal baik oleh para
penjaga mess di sini. Aku tak begitu heran, mengingat jabatan Om-ku
cukup baik di perusahaan tempat ia bekerja.
"Ini kenalin, Hendro, keponakan saya dari Jakarta," kata Om Wi'
sambil memperkenalkan aku kepada tiga orang petugas security di situ.
"Mau menginap berapa malam Pak?" tanya salah seorang kepada Om Wi'.
"Terserah dia, mau berapa malam," sahut Om Wi' sambil menunjuk ke arahku yang kebingungan.
"Cuma semalam saja kok Pak," cepat-cepat Om Wi' melanjutkan seolah meralat guyonannya.
"Monggo, silakan," kata salah seorang petugas mess sesaat kemudian
setelah mengambil kunci dan mengantar kami ke salah satu guest house
yang terbaik yang ada di situ.
"Om, emang kita mau nginap? Kan kita nggak bawa pakaian," kataku
begitu sampai di ruang tengah guest house dan petugas yang mengantar
kami sudah berlalu.
"Kamu serius amat sih?" balasnya sambil mendekatiku."Lagian kita memang tidak perlu pakai pakaian.."
Belum sempat aku menanggapi kalimatnya, tiba-tiba ia sudah menarik
tubuhku dalam pelukannya dan menciumku dengan gemas. Gerayangan
tangannya langsung kemana-mana. Dan sebelum akhirnya kami berdua
tergeletak di lantai ruang tengah, ia telah melolosi seluruh pakaianku
dan pakaiannya sendiri.
Tubuh gempalnya langsung menindih. Dan kami pun segera bergelut
dengan penuh gairah di lantai guest house yang cukup dingin itu.
Beberapa kali kami sempat bergantian posisi, saling tekan dan beradu
'pedang' disertai dengusan nafas yang makin lama rasanya makin sesak
karena desakan birahi.
Beberapa kali kurasakan ketika aku berada di bawah dan mengepit
pinggangnya, Om Wi' berusaha mengarahkan 'moncong rudal'nya ke celah
pantatku diiringi dengan sodokan-sodokan ringan. Tampaknya ia ingin
mengingatkanku bahwa ada satu 'pelajaran' lagi yang aku belum lulus
menjalaninya (baca "Tamu dari Yogya").
"Jadi Hend..?" tanyanya sambil menatapku tajam ketika ia mulai melakukan gerakan-gerakan itu lagi.
Aku diam tak menjawab. Aku bukannya ragu, karena pengalaman
pertamaku dengannya dulu sempat menimbulkan rasa nyeri. Tapi aku diam
karena sedang mencoba menikmati sodokannya yang nakal di bawah sana.
Rasanya geli, serasa dibelai-belai.
"Hend..," kembali suaranya terdengar, setengah berbisik.
Seolah memintaku untuk memenuhi permintaannya. Saat itu mataku
masih terpejam meresapi gerakan-gerakan yang ia lakukan. Dan apa yang
tengah aku resapi itu makin lama makin menjadi-jadi ketika kurasakan
tubuh Om Wi' bergeser ke bawah, mengisap milikku sambil jari-jari
tangannya mulai menggelitik liang pelepasanku. Tubuhku sesaat melenting
sebelum ia mengatur posisiku sedemikian rupa sehingga kedua pahaku
terangkat dan terkuak lebar.
Aku masih memejam. Tapi kali ini mulutku mulai meringis-ringis
keenakan oleh sentuhan jarinya di bawah sana. Rasanya aku tak perlu
menjawab keinginannya tadi. Respon kenikmatan yang kutunjukkan bagiku
sudah cukup untuk mengatakan kalau aku mengijinkan dan menginginkan ia
bertindak lebih jauh.
Dan keinginanku semakin bulat, ketika kurasakan lidah Om-ku mulai
menggantikan jarinya untuk merangsang bagian bawah tubuhku. Dalam
sekejap air liur hangat dan licin mulai membasahi. Lalu ada gerakan
jari dan lidah menusuk, mengusap, bergantian. Kedua pahaku sempat
hampir mengatup karena sangat kegelian, namun dengan sigap Om Wi'
membentangkannya lagi.
Om-ku ini, adalah orang yang sebenarnya tak banyak maunya. Tapi
kalau menyangkut keinginan seks, ia sulit untuk dikendalikan. Aku mulai
mengenal sifatnya ini ketika mulai dekat dengannya, di samping
pengakuan yang ia ceritakan sendiri.
"Sebentar ya..," Om Wi' berbisik dan kemudian beranjak berdiri.
Tubuh bugilnya sudah terlihat agak basah oleh keringat. Senjatanya
mengacung besar ke depan dan bergoyang-goyang ketika ia berdiri dan
berjalan ke arah tumpukan pakaian kami. Tangannya lalu meraih sesuatu
dari tas pinggangnya.
Belum sempat aku berpikir, Om Wijoyo sudah berbaring kembali di
sampingku dengan sebuah tube dalam genggamannya. Pelumas! Ah, rupanya
ia ingin mempersiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya. Sambil
senyum-senyum, tangannya bergoyang-goyang menunjukkan tube itu ke
arahku. Gantian aku yang meringis tersenyum melihat ulahnya.
"Kenapa?" tanyanya heran melihat reaksiku.
"Nggak pa-pa..," jawabku enteng.
"Memang Hendro belum pernah pake ginian?" tanyanya.
Aku menggeleng, meskipun aku tahu untuk apa kegunaan pelumas itu bagi seorang duda seperti dia.
"Om suka pake ini buat beginian..," katanya lagi sambil memeragakan gerakan onani.
Aku tak menanggapi, malah kuraih tube pelumas itu dari tangannya
dan ia membiarkanku melumuri batang kemaluannya. Sisa pelumas kemudian
aku oleskan sendiri ke celah selangkanganku. Ia tersenyum lebar melihat
apa yang kulakukan.
Kami pun lalu saling merangsang. Tanganku mulai mengurut dan
memijat batangnya. Sementara tangan kanannya terulur dan jarinya mulai
menggelitik ke sela pantatku. Rasa geli langsung menyergapku. Jari-jari
itu terasa licin mengulir dan membelai-belai di bawah sana.
Spontan aku berbaring, melipat kedua lututku ke atas dan
membentangkan pahaku lebar-lebar. Kutinggalkan batang kemaluan Om-ku
yang sudah menegak lagi. Kunikmati permainan jarinya. Kuresapi tusukan
dan gelitikannya. Geliat tubuhku bahkan tak membuat gerakannya meleset.
Malah semakin gencar.
Tanganku yang semula hanya terentang kini mulai mencari pegangan.
Dan pegangan yang terdekat adalah sebatang otot pejal milikku sendiri.
Sisa pelumas yang ada melancarkan kocokanku. Sesekali suara kecipak
terdengar bagai lagu pengiring yang mengantarkanku mendaki puncak
kenikmatan.
Suara lenguhan mulai sering terlontar dari mulutku. Dan tubuhku
beberapa kali bergidik oleh rasa geli nikmat layaknya orang kencing
yang tertahan lama. Tapi ini pasti akan menjadi kencing yang jauh lebih
nikmat. Apalagi ketika Om Wi' merebut 'tongkat' yang ada di genggamanku
dan menggantikanku meloco milikku. Tanganku kini terentang pasrah.
Kunikmati kedua tangan Om-ku yang masing-masing sibuk merangsang
pantat dan batang kemaluanku yang rasanya makin licin karena pelumasnya
telah bercampur dengan keringatku. Bahkan aku tak menyadari kalau dua
jari Om Wi telah memasuki celah anusku. Artinya 'jalan'ku sudah mulai
longgar. Jari tengah dan telunjuknya bergantian menggelitik, bergerak
seperti tengah menggaruk.
Waktu itu, sepeninggal Om Wijoyo ketika pulang dari Jakarta dulu,
aku memang mempunyai kebiasaan baru bila tengah melakukan onani. Aku
mulai suka merangsang sendiri anusku dengan jari sementara tangan yang
lain tetap 'memompa' seperti biasanya. Ada sensasi tersendiri ketika
mengocok sambil menyentuh lubang yang lembut itu dengan ujung jari yang
sebelumnya sudah aku beri pelumas.
Kegelian dan kenikmatan yang kuarasakan selama onani menjadi
bertambah. Aku seperti dirangsang dari dua kutub yang berbeda. Dan
ketika ejakulasiku datang, orgasme yang kurasakan sangat intens, lebih
dari biasanya. Itu baru diakibatkan oleh sebuah jari. Bagaimana kalau
yang menggelitik lubang tubuhku itu sebuah..
"Hend..," bisikan Om Wi' terdengar dekat di telingaku.
Rupanya ia telah mengangkangiku dan meminta ijinku untuk memulai.
Kedua pahaku sudah terangkat dan terbuka lebar. Kedua tangan Om Wi'
berusaha menahan posisi ini dan tubuhnya agak condong menindihku. Aku
hanya bisa memeluk lehernya, mengecup pipinya, dan..
"Fuck me.. Please..," bisikku ke telinganya. Matanya menatapku seolah menanyakan keseriusanku. Aku mengangguk meyakinkannya.
Aku tak ingin melihat apa yang bakal terjadi. Layaknya seorang
perawan yang baru pertama kali diperawani. Aku hanya mau merasakan dan
meresapi saja ketika pelan-pelan sebuah benda bulat kenyal mulai
menelusup ke garis anusku yang sudah basah oleh pelumas. Kuatur
konstraksi otot cincin yang ada di sana untuk menyambut hadirnya bagian
tubuh Om-ku yang selama ini terus membayang dalam pikiran birahiku.
Kurasakan mulai ada sesuatu yang dijejalkan, lalu sebuah tekanan,
pelan namun kuat. Om Wijoyo mencoba melakukan 'pengeboran' sambil
sesekali menciumi bibirku. Sementara aku hanya pasrah saja.
Ketika aku mulai merasakan ada sebuah tusukan, entah kenapa
tiba-tiba mataku berair. Aku tak menangis. Mungkin cuma sebuah emosi
yang tak bisa lagi kukendalikan. Dan ketika tusukan itu makin dalam,
emosiku makin meluap. Mataku terpejam dan makin membasah. Om Wijoyo
mencoba menutup bibirku dengan tangannya, dipikirnya aku menangis.
"Ssshh.. Sshh..," ia mencoba meredakan emosiku seperti seorang ayah
tengah menghentikan tangis anaknya. Dan aku bukannya diam, tapi malah
kini aku benar-benar keluar air mata.
Lalu aku mencoba membuka mataku dan mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
"Teruskan Om.." bisikku sambil sedikit kuangkat pinggulku seolah aku siap menerima tubuhnya.
Kulihat wajah Om Wijoyo agak tegang dan sedikit memerah. Lalu
dengan pandangan yang sulit kuartikan, ia mulai membalas gerakanku
dengan menekan pinggulnya ke bawah. Makin kuat.. Makin kuat.. Dan
sebuah tusukan panjang terasa meluncur di dalam liang bawah tubuhku.
Seketika aku menggeliat dan mengerang. Kali ini Om Wi' tak peduli
dengan diriku lagi, apakah aku kenikmatan atau kesakitan.
Aku memang sedikit merasakan rasa nyeri. Tapi rasa nikmat yang
kudapat mengalahkan semuanya. Maka kubiarkan ia terus menekan dan
menekan. Bahkan aku sesekali mengangkat pantatku agar tusukannya lebih
dalam. Dan aku bisa merasakan gesekan batangnya. Lembut meluncur di
sepanjang dinding anusku.
Akhirnya, pinggul Om-ku mulai lancar bergerak maju mundur layaknya
sebuah 'piston' pada sebuah alat pengebor. Inilah anal seks pertamaku!
Terus terang aku ada perasaan seperti kehilangan sesuatu. Tapi di sisi
lain aku seperti mendapatkan sesuatu yang lain: rasa nikmat yang belum
pernah kurasakan dan sentuhan kasih sayang dari Om-ku yang berbeda dari
biasanya.
Aku merasa benar-benar dalam naungan dan kekuasaannya. Tapi aku
menikmatinya. Demikian juga dia. Suara 'ah oh' mulai terdengar dari
mulutnya. Sementara aku melenguh-lenguh kenikmatan. Aku memang sungguh
kenikmatan. Benda pejal itu serasa menggesek dan menggelitik seluruh
syaraf tubuhku bagian dalam.
Kegelian yang tak bisa kugaruk. Kenikmatan yang sulit kuatasi.
Mataku semakin berair merasakan desiran-desiran halus di sekujur
tubuhku yang makin lama berubah menjadi desak-desakan rasa geli dan
nikmat yang berbaur jadi satu.
Posisi Om Wijoyo kini tidak lagi menindihku tapi ia sudah berlutut
di antara kedua kaki dan pahaku yang dibentangkannya lebar-lebar. Ia
bagai koboi yang tengah menghela kuda tunggangannya. Sementara aku
tersengal-sengal oleh sodokan-sodokan nikmatnya. Bulu-bulu di perutnya
yang agak buncit itu tampak basah oleh keringat. Tubuhnya yang 'sekel'
tampak berkilat, bagai seorang kstaria berbaju baja. Kulit tubuhnya
yang bersih terlihat memerah oleh gelora birahinya sendiri.