Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kedua kakiku sudah terangkat dan
pahaku mengepit pinggulnya. Sementara kedua tangannya berusaha
menyangga tubuhku agar tak jatuh dan merosot dari dinding. Dalam posisi
begini desakannya kurasakan semakin liar. Terasa sekali sodokan-sodokan
batangnya di sela-sela garis pantatku. Rasanya geli dan membuat daerah
sekitar liang pelepasanku itu seperti 'meleleh' karena membasah.
Sementara batang kemaluanku terjepit di antara perutku dan
perutnya. Tergesek-gesek bulu yang ada di situ. Dalam posisi digendong
seperti itu, aku hanya bisa tengadah merasakan itu semua. Sementara
mulutnya sibuk mencumbui daerah di sekitar leherku.
Waktu aku kecil, Om Wijoyo memang seringkali menggendong atau
membopongku dengan penuh kasih sayang. Tapi kali ini gendongannya jauh
berbeda sekali dengan yang pernah ia lakukan. Mungkin ia masih
melakukannya dengan penuh kasih sayang. Tapi aku merasakannya lebih
dari itu. Gendongan dan dekapannya terasa sekali penuh dengan dorongan
nafsu dan hasrat birahi yang mengental dan harus segera dicairkan. Dan
aku sebagai keponakannya menurut saja pagi-pagi diajak 'main
gendong-gendongan' seperti ini.
Cengkeraman tangannya yang kuat dan desakan tubuhnya membuat aku
makin terpepet ke tembok. Tubuh kami seolah lengket dan punggungku yang
berkeringat terasa ketat menempel ke dinding. Aku berusaha agar tak
jatuh merosot dengan mengetatkan belitan kedua kakiku pada pinggangnya.
Apalagi ia sering melakukan sentakan dan sodokan dari bawah yang
membuat tubuhku sesekali terguncang-guncang ke atas.
Orgasme kami akhirnya harus datang terlalu cepat, saling menyusul
dan tak terkendali. Aku mengerang dengan suara yang cukup keras
meningkahi suaranya yang mendesah-desah seperti orang tengah kesakitan.
Aku dan Om Wi' sepertinya tak peduli sekali pun Pak No atau orang lain
akan mendengar hiruk-pikuk meledaknya puncak permainan seks ini. Pagi
ini kami memang tidak sedang bermain cinta. Ini benar-benar permainan
seks. Sekedar menyalurkan dorongan nafsu syahwat saja. Tapi aku tak
menyesali. Karena aku pun sudah lama memendam tumpukan birahi ini
padanya.
Tak sampai semenit kemudian, dengan sisa tenaga yang ada dan tubuh
masih dalam posisi saling membelit, Om Wi' menggendong tubuhku ke arah
ranjang dan menjatuhkan tubuh kami ke sana. Tubuh gempalnya sesaat
sempat menindihku sebelum ia berguling ke samping.
"Uhh.. Cepet banget.." katanya beberapa saat kemudian sambil nyengir.
Badannya berbaring miring di sampingku. Tangannya bertelekan ke
dagu dan menatapku sayu. Keningnya masih berpeluh dan kudengar nafasnya
masih agak ngos-ngosan. Aku tetap diam telentang di sampingnya, tak
menanggapi ucapannya.
"Kok diam?" tangannya menyentuh ujung hidungku yang basah oleh keringat.
"Ehmm..," aku malas untuk bicara, masih terbawa oleh sisa-sisa
kenikmatan yang samar-samar masih terasa di bagian bawah tubuhku.
Kuamati wajahnya lalu kupeluk lehernya dan kami pun berciuman. Lumat
dan lama sekali.
Ada rasa plong ketika aku menuntaskan permainan yang singkat dan
cepat tadi. Rasa rindu dan birahi yang selama ini kupendam terasa
terobati. Bagaimana pun, laki-laki yang selama ini kupanggil 'Om' ini
telah merebut hati dan perasaanku. Belum pernah aku jatuh cinta seperti
ini, bahkan kepada seorang wanita pun. Di mataku kini, aku tak melihat
lagi ia sebagai Om atau Pakdeku. Ia telah menjadi kekasih dan tempatku
melampiaskan hasrat kelelakianku.
"Jadi ke Kaliurang-nya?" tanyanya di sela-sela cumbuannya.
"Kan Dede-nya nggak ada..," sahutku
"Memang Om nggak bisa nganter apa?"
"Emang Om Wi' mau nganter?"
"Lha, buat apa Om nyuruh Pak No nyuci mobil?"
Kami kemudian sepakat untuk mandi dan sarapan dulu. Aku terpaksa
mandi 'basah' lagi, sekalian menemaninya. Toh sudah lama kami tak mandi
bersama sejak kejadian di Jakarta dulu.
Sekitar jam sepuluh kami berangkat menuju Kaliurang. Om Wi' yang pegang setir. Ia tak mengijinkan ketika kutawarkan aku saja
yang bawa mobil, dengan alasan aku adalah tamunya.
"Jadi saya dianggap tamu nih?" kataku pura-pura kesal.
"Iya. Tamu istimewa," sahutnya datar.
"Pake telor nggak?"
"Pake. Telornya dua biji," katanya sambil tertawa tergelak-gelak.
Ketawanya masih khas seperti dulu. Renyah dan segar. Kupukul bahunya menanggapi guyonannya. Ia pura-pura meringis kesakitan.
Kelihatan sekali Om Wi' senang dengan kedatanganku. Sepanjang
jalan, disela-sela obrolan, ia terus bersenandung. Sesekali kuamati
wajahnya yang sebagian tertutup oleh topi pet dan kacamata rayban. Hari
ini kami memang rada santai. Pakaian kami hanya t-hirt, celana pendek
bermuda dan bersepatu sandal saja. Tak ada lagi barang lain yang kami
bawa, kecuali sebuah tas pinggang yang dipakai Om Wi'.
Sepanjang perjalanan sesekali kuperhatikan sosok laki-laki di
sampingku itu. Beberapa rambut putih tampak menyembul dari rambut ikal
yang ada di bagian atas kupingnya. Om-ku memang sudah berumur. Tapi di
mataku ia tampak makin matang saja, berwibawa dan 'wise'. Kumisnya yang
tumbuh bagus makin memperkuat kesan itu. Tubuhnya memang tampak makin
berisi. Bahkan perutnya agak sedikit buncit, tapi masih proporsional
dengan bentuk badannya yang tegap. Menatapnya seperti ini membuatku
ingin sekali merengkuhkan tangan memeluknya.
"Om..," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sambil mengusap lengannya yang padat kekar dan berbulu itu.
"Ya, sayang..," sahutnya dengan ekspresi datar sambil tetap serius
menyetir. Aku ketawa mendengar kata 'sayang' di akhir kalimatnya.
"Kenapa?" tanyanya masih tanpa ekspresi. Suara baritonnya terdengar meneduhkan.
Aku tak menyahut dan kemudian beralih menatap jalanan di depan. Aku
memang tak bermaksud mau mengatakan sesuatu. Hanya ingin memanggil
namanya saja. Mungkin itu bagian dari caraku untuk menyatakan aku
menyayanginya.
"Ada apa?" tanyanya lagi dengan nada tak berubah.
"Nggak..," sahutku ringan sambil menoleh ke arahnya.
Ia tersenyum dan tampaknya tahu kalau aku memang hanya ingin
memanggil namanya saja. Ia kemudian malah bersenandung dan
bersiul-siul, membuatku makin 'gemas' saja melihatnya.
Tiba-tiba ia melepas tangan kirinya dari kemudi, memegang tangan
kananku lalu menggenggam dan meremasnya. Ada rasa rindu mengalir dalam
genggamannya. Kami sama-sama menarik nafas hampir bersamaan. Tak ada
kata-kata yang keluar. Kami hanya bisa merasakan semua perasaan ini.
Ingin rasanya aku bisa memeluk dan menciumnya. Tapi mustahil aku
melakukannya di jalanan umum begini.
Akhirnya aku hanya bisa mengusap-usap pahanya dan sesekali
menepuk-nepuk mengikuti senandungnya. Sesekali kupegangi lututnya,
kuusap-usap dan kugelitiki. Ia kegelian dan tangannya berusaha menepis.
Tanganku memang sesekali meremas-remas bagian dalam pangkal lututnya
yang menggembung dan sesekali jari-jariku menelusup masuk ke celah
bawahnya. Ia makin memprotes kegelian, tapi tak kuhiraukan.
"Iseng amat sih?"
"Nggak boleh?"
"Boleh! Tapi masa cuma lututnya doang?" sahutnya dengan nada nakal.
OK! Kuturuti tantangannya. Pelan-pelan kutelusupkan tanganku ke
celah celana pendeknya yang agak longgar dan mulai mengusap-usap bulu
yang ada di sekujur pahanya. Ia diam saja tak bereaksi. Hanya segurat
senyum mulai mengembang. Namun ketika tanganku makin masuk ke dalam,
kudengar ia mulai menarik nafas.
Tiba-tiba ia kembali melepas tangan kirinya dari kemudi dan dengan
tanpa ekspresi ia berusaha melepas tas pinggangnya dan kaitan
celananya. Lalu dengan pandangan tetap ke jalanan, tangannya kembali
memegang setir, dan tak melanjutkan membuka celananya lebih jauh. Aku
tersenyum geli mengamati perbuatannya. Tapi tanpa diminta, aku mengerti
maksudnya dan meneruskan apa yang diperbuatnya tadi dengan menarik
resleting celananya ke bawah.
Segera kulihat sembulan celana dalam putihnya. Garis batang
kemaluannya jelas terlihat membayang. Kuusap bagian itu dan kurasakan
sudah cukup mengeras. Ia menarik nafas merasakan sentuhan tanganku.
Sesekali kuperkuat usapanku di bagian itu dan ia pun makin kuat menarik
nafasnya.
Tangan kirinya lalu melepas setir lagi dan berusaha mengeluarkan
'isi' celananya. Tapi aku mencegahnya, karena jalanan yang kami lalui
bukan jalan yang sepi, meskipun tidak terlalu padat juga. Om Wi'
menurut dan membiarkanku hanya bermain-main di bagian luar saja.
Kira-kira satu kilometer berikutnya, tiba-tiba Om Wi' membelokkan
mobil ke arah kiri, masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil yang
nampaknya merupakan jalur alternatif. Jalan ini memang tampak lebih
sepi dan tidak ada pemukiman penduduk. Di kiri kanan hanya ada kebun
sayur dan pepohonan semacam cemara atau pinus. Semula aku pikir kami
sudah sampai di Kaliurang, tapi begitu melihat Om Wi' kembali berusaha
melepas celananya, aku baru faham maksudnya untuk berbelok ke jalanan
ini. Om-ku yang satu ini memang kadang-kadang 'kreatif' juga. Apalagi
kalau menyangkut urusan begituan.
Kuminta ia untuk sedikit mengangkat pantatnya agar aku dengan mudah
bisa membantu menarik celananya ke bawah. Kuperosotkan celana pendek
bermuda itu sekaligus celana dalamnya hingga ke lutut.
Kini di sampingku tampak dua buah benda bulat panjang menantang.
Yang satu adalah persneling mobil dan yang satunya lagi adalah sebuah
'meriam' kecil lengkap dengan bagian kepalanya yang sudah membengkak,
tegang tapi masih agak menggantung karena belum sepenuhnya keras.
Kuamati Om-ku tetap dengan serius mengemudikan mobilnya, meskipun
sekilas kutangkap wajahnya agak tegang dan nafasnya memburu. Seolah ada
sesuatu yang membuatnya tak sabar menunggu.
Pelan-pelan kugenggam bagian batang miliknya yang besar dan pejal
itu. Ia menarik nafas panjang. Tanganku lalu mulai memijit-mijit dan
sesekali kuselingi dengan mengurut benda itu dengan gerakan maju
mundur. Tarikan nafasnya makin tak teratur.
Sejenak kulepaskan genggamanku dan gerakanku berpindah sasaran ke
arah bulu-bulu ikal yang tumbuh lebat merimbun di pangkal kemaluannya.
Aku tahu, ia paling senang kalau aku mengelus-elus bulu jembutnya.
Kulihat Om Wi' mulai gelisah. Dan pelan-pelan 'meriam'nya mulai
mengembang, menegang. Tanganku pun gatal untuk segera merayap lagi ke
sasaran semula dan kulanjutkan dengan gerakan mengocok. Kulihat kepala
kemaluannya makin membengkak, meradang.
Mata Om Wijoyo masih lurus menatap jalanan di depan. Sesekali ia
terpejam meresapi apa yang tengah kuperbuat. Duduknya kembali mulai
gelisah. Tapi yang membuatku salut adalah: ia tetap bisa mengendalikan
mobil dengan baik. Padahal kondisi jalan di situ tidak lagi mulus,
beberapa bagian aspalnya sudah berlubang. Gerakan tanganku pun sesekali
tersentak mengikuti guncangan mobil.
Ketika mobil mulai memasuki areal sepi yang dipadati oleh pohon
pinus, aku merasa aman untuk melakukan sesuatu yang lebih jauh. Maka
tanpa diminta aku pun menenggelamkan wajahku ke selangkangannya.
Kulahap milik Om-ku dalam sekali 'sergapan'. Terus terang ia tersentak
kaget dan mengeluarkan erangan tertahan, sebelum akhirnya ia pasrah dan
kembali mengemudi.
Agak sulit rasanya 'mengisap' dalam posisi duduk menyamping begini.
Aku harus mengatur posisiku sedemikian rupa agar dapat melakukannya
dengan baik. Om Wi' pun berusaha mengatur posisinya sedemikian rupa.
Bahkan ia berusaha melepas celananya yang tadi tersangkut di lutut
dengan gerakan yang cekatan tanpa harus mengganggu gerakan kakinya
menginjak kopling dan gas. Sebuah ketrampilan yang mungkin tak semua
orang bisa melakukannya dengan baik.