Sudah ada tiga bulan ini aku diterima di
perusahaan baru, sebuah perusahaan kontraktor mesin. Nampaknya aku
mulai kerasan dengan bidang pekerjaan yang baru ini meski banyak tugas
yang membuatku hampir tak punya waktu untuk bersantai dan bermain
dengan teman-teman.
Bulan-bulan ini kesibukanku bertambah dengan dimulainya proyek yang
melibatkan beberapa rekanan di berbagai kota, termasuk Yogyakarta,
dimana keluarga Om Wijoyo, saudara tiri ayahku tinggal di sana.
"Kenapa harus nunggu bulan depan?" suara Om Wijoyo di telepon terdengar setengah 'memaksa'.
"Bulan depan 'kan cuma seminggu lagi, Om," jawabku.
"O iya ya.."
"Sabar dong Om," kataku sambil ketawa, meski aku sendiri sebenarnya sudah tak tenang ingin segera ketemu.
"Oke, kalau gitu Om tunggu ya..," sahutnya dengan nada kebapakan.
Aku baru saja memberitahu Om Wijoyo tentang rencana kunjunganku ke
Yogya. Om Wi' (panggilanku kepada Om Wijoyo-baca 'Tamu dari Yogya')
tentu saja sangat senang mendengar berita itu. Jadwalku ke Yogya memang
baru terealisir minggu pertama bulan depan, karena minggu-minggu ini
aku harus menyusun laporan setelah perjalanan dinasku sebelumnya ke
daerah Batam dan Samarinda minggu kemarin.
Aku memilih perjalanan ke Yogya dengan menggunakan kereta api.
Sengaja kupilih jadwal kereta keberangkatan Jum'at pagi, dengan harapan
aku bisa punya waktu senggang di Yogya pada hari Sabtu dan Minggu.
Sepanjang perjalanan, pemandangan sawah, bukit dan gunung berselisihan
dengan bayangan Om Wijoyo yang terus muncul. Aku berusaha untuk
mengingat kembali segala kejadian yang pernah kami lakukan ketika ia ke
Jakarta beberapa bulan yang lalu. Penumpang di sebelahku, laki-laki
setengah baya, tak mampu mengalihkan pikiranku dari bayangan Om-ku.
Akhirnya kereta masuk Stasiun Tugu sekitar pukul 15.00, satu jam
lebih lambat dari yang dijadwalkan. Di depan pintu gerbang utama
kulihat Dede, putra sulung Om Wijoyo, melambaikan tangan ke arahku.
Kami lalu bersalaman dan berangkulan dengan akrabnya.
"Bapak mana, De?" tanyaku tanpa bisa menyembunyikan keinginanku ketemu ayahnya.
"Tuh!" kata Dede sambil menunjuk seorang laki-laki yang berdiri di
depan mobil Kijang. Sejenak aku terkesima melihat laki-laki gagah
berkacamata rayban tersenyum ke arah kami sambil melambai-lambaikan
tangannya.
Dede menyuruhku menghampiri ayahnya, sambil meminta travel bag-ku
untuk dibawanya. Kutinggal Dede dan aku lalu berjalan ke arah Om Wi'
sambil terus kuamati sosoknya yang menurutku makin ganteng saja. Aku
yakin ia juga terus menatapku di balik kacamata rayban-nya itu.
"Apa kabar Om?" tanganku terulur.
Ia lalu melepas kacamatanya dan langsung menyambut uluran tanganku
untuk kemudian ditariknya aku dalam pelukannya. Mungkin di mata orang
lain tampak seperti pelukan seorang Om kepada keponakannya. Tapi kami
saling tahu dan bisa merasakan bahwa pelukan itu sebenarnya lebih dari
itu. Apalagi Om Wi' sempat berbisik bahwa ia kangen denganku. Aku hanya
bisa menarik nafas mendengarnya.
"Kamu tampak makin dewasa saja," gumamnya sambil tangannya mencengkeram bahuku dan mengamati penampilanku.
".. Dan tambah ganteng..," lanjutnya dengan nada suara agak direndahkan.
Berat badanku akhir-akhir ini memang sedang naik, membuat tubuhku
nampak berisi. Dan mungkin ada satu hal yang kurang disadari Om Wijoyo,
penampilanku memang berbeda dengan ketika kami bertemu di Jakarta dulu.
Mungkin aku sekarang tak seklimis dulu karena kerap membiarkan kumis
dan cambangku tak tercukur akibat jadwal kerjaku yang cukup padat.
Memang banyak yang bilang kalau penampilanku jadi lebih menarik dan
lebih 'mature'.
Ketika Dede mendekat, kami bertiga segera masuk ke mobil dan
meluncur meninggalkan stasiun. Om Wijoyo menawariku makan siang tapi
aku menolak karena sudah makan di kereta tadi. Akhirnya kami langsung
menuju rumahnya yang lokasinya mengarah ke Kaliurang. Dede yang
memegang setir didampingi ayahnya. Aku sendirian di belakang dengan
travel bag-ku.
Sesekali Om Wi' menengok ke belakang mengajakku ngobrol. Tapi
tatapan mata dan senyumannya sepertinya bicara lain. Penuh dengan
kerinduan. Penuh dengan isyarat dan pancaran tertentu. Sesuatu yang
bisa kutangkap tapi tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Terus terang sejak Om Wijoyo mengenalkanku pada sebuah 'peristiwa'
ketika ia bertamu ke Jakarta dulu, aku tak pernah berniat mengulang hal
itu atau melakukannya dengan orang lain. Bukan semata-mata karena aku
belum pernah melakukannya dengan orang lain, tapi kuakui sejak kejadian
itu mulai muncul 'kedekatan' tertentu dengan saudara tiri Ayahku itu
lebih dari sekedar kedekatan seorang keponakan dengan Om-nya.
Sejauh ini komunikasi cuma kami lakukan melalui percakapan di
telepon. Om Wi' lah yang lebih sering menghubungiku, entah ke rumah
atau kantorku. Aku sih senang-senang saja diperhatikan seperti itu. Dan
perhatian itu tak berubah ketika aku bertemu langsung dengannya saat
ini.
Hampir semua urusan kedatanganku di Yogya ditangani oleh Dede. Ia
memang seperti ayahnya, baik dan ramah dengan semua orang, apalagi
dengan saudara. Malam pertamaku di Yogya lebih banyak ditemani olehnya.
Putar-putar kota, makan dan nongkrong di Malioboro. Si Putri, adik
perempuannya, kebetulan sedang ada acara sosial di luar kota. Jadi aku
keliling kota berdua saja sama Dede.
Om Wijoyo sendiri seolah 'melepas'ku untuk ditemani anak sulungnya
itu, meskipun aku sebenarnya lebih suka Om Wi' yang menemani. Tapi
mungkin ia ingin agar kedekatanku dengannya tak terlalu menyolok di
depan anak-anaknya. Atau mungkin ia punya pertimbangan lain, aku tak
tahu.
Aku baru tahu hal itu keesokan harinya, hari Sabtu pagi ketika
separo dari kegiatan usaha libur. Aku bangun agak kesiangan. Semalam
aku dan Dede memang nongkrong sampai malam di sepanjang Malioboro.
Sekitar setengah dua kami baru pulang. Aku langsung tidur di kamar
tengah yang memang disediakan khusus untuk tamu. Dan pagi ini, karena
merasa bangun kesiangan, aku langsung bangkit ke kamar mandi karena mau
diajak main ke Kaliurang.
Baru saja aku keluar dari kamar mandi, ketika pintu kamarku ada
yang mengetuk. Rupanya Pak No, pembantu keluarga Om Wijoyo yang berdiri
di depan pintu kamar sambil membawa handuk bersih. Ia agak kaget
melihat aku baru saja selesai mandi.
"Maaf Mas Hendro, ngasih handuknya terlambat. Tadi mau saya
bangunkan tapi nggak enak," katanya sambil menyerahkan handuk bersih
kepadaku.
"Nggak pa-pa. Saya sudah bawa kok Pak," kataku sambil menunjuk
handuk yang membelit tubuhku. Pak No lalu mengingatkanku bahwa sarapan
sudah disediakan, sebelum ia berlalu ke belakang.
Baru saja pintu kamar kututup, tiba-tiba ada ketukan lagi. Dan
ketika kubuka, Om Wi' sudah berdiri di ambang pintu. Senyumnya
mengembang segar. Tampaknya ia belum mandi. Karena masih
ber-training-spak dan berkaos oblong. Entah habis olah raga atau itu
memang pakaian tidurnya. Terus terang aku kaget dengan kehadirannya
yang sekonyong-konyong itu.
"Kesiangan ya Hend?" sapanya ramah.
Aku mengiyakan dan berharap ia segera masuk ke kamarku. Bukan
apa-apa, aku tidak enak berduaan dengan dia dalam kondisi hanya
berbalut handuk. Aku takut kalau tiba-tiba Dede melihat pemandangan
'aneh' ini. Tapi Om Wi' tampaknya tak peduli dan cuek dengan
kegelisahanku.
"Sudah mandi?" katanya sambil terus tersenyum di ambang pintu.
"Coba kalau belum, bisa mandi bareng."
Kalimatnya makin membuatku was-was, takut kedengaran orang lain.
"Masuk Om," kataku akhirnya, setengah memaksa.
"Mau dikasih apa?" sahutnya bercanda. Gila juga ini bapak-bapak. Omongannya makin nyerempet saja.
"Masuk dong Om. 'Ntar ketahuan Dede atau Pak No!," kataku sambil menggamit lengannya.
Ia menurut saja dan pintu kamar langsung kututup.
"Dede pergi dan Pak No sedang kusuruh nyuci mobil," katanya sambil mulai mendekatiku. Aku setengah berteriak dalam hati. Lega!
"Emang Dede kemana?" tanyaku penasaran.
"Tadi subuh pamitan mau ke Semarang. Acara sama teman kantornya," kata Om Wi' makin mendekat ke arahku.
"Kok semalam nggak bilang sama saya?"
"Aku yang nyuruh jangan bilang ke kamu. Biar kamu tetap merasa enak di sini, meski nggak ada Dede"
Om Wi' sudah di depanku dan langsung melepas handuk yang membelit
pinggangku. Tangannya langsung menggenggam dan meremas. Aku hanya bisa
memejamkan mata dan merasakan sentuhan yang sudah lama tak kurasakan.
Elusan tangannya memandu memoriku merasakan kembali sensasi yang pernah
diberikannya beberapa waktu lalu.
Dan ingatan itu makin kuat ketika kurasakan bibirnya mulai merambat
menciumku. Sentuhan kumis lebatnya masih terasa seperti dulu.
Lumatannya juga masih sama seperti dulu. Pilinan lidahnya, hisapannya,
semuanya. Geli dan merangsangku untuk membalas pagutan bibirnya. Nafas
kami kini beradu tak karuan. Mendesah dan butuh pelepasan.
"Om kangen sama kamu Hend..," bisiknya di sela-sela cumbuannya. Aku juga, kataku dalam hati.
Beberapa saat kemudian Om Wi' melepas ciumannya dan mulai membuka
pakaiannya dan aku membantu melepas kaos oblongnya. Dan kami pun kini
berhadapan dalam kondisi sama-sama telanjang tanpa penutup apa pun.
Langsung berdekapan, bercumbu lagi, saling mendesak, saling menggesek..
Kini gantian aku yang menggenggam miliknya. Ada kerinduan
tersendiri ketika aku mulai mengelus dan meremas-remas benda yang
panjang dan besar itu. Entah sudah berapa lama aku tak menyentuh batang
itu sejak kejadian di rumahku dulu. Kini kerinduan itu kulampiaskan
dengan berbagai remasan dan betotan yang gemas dan kuat. Kulihat mata
Om-ku sampai memicing-micing keenakan menikmati kenakalan tangan
keponakannya.
"Isap, Hend..," ia memintaku. Dan akupun dengan senang hati
memenuhi keinginannya. Langsung berlutut di tengah kedua kakinya yang
terkangkang.
Rasa-rasanya kaki Om-ku makin kekar saja dan bulu-bulu yang tumbuh
pun tampak makin lebat. Tampaknya ia masih rajin berolahraga. Atau
mungkin ini hanya kesanku saja yang sudah lama tak melihat ia dalam
keadaan telanjang. Tapi yang jelas rasa dan aroma bagian tubuhnya yang
terlarang itu telah membangkitkan nafsuku.
Rasanya otot kemaluan itu masih padat dan pejal. Aromanya, campuran
antara bau keringat dan bau sperma. Bagian kepalanya masih tampak
membonggol besar bagai kepala burung Condor yang sesekali
mengangguk-angguk setiap tersentuh lidah basahku. Kutuntaskan
kerinduanku pada bagian tubuhnya yang paling pribadi itu. Dan pagi ini
rasanya aku tak perlu lagi menikmati sarapan yang disediakan Pak No,
cukup dengan 'pisang ambon' ini saja.
Beberapa saat kemudian tangan Om Wi' menarik tubuhku untuk berdiri,
lalu mendorongku hingga terpojok ke dinding kamar. Gerakan tubuh kami
sempat membuat meja di sampingku bergeser dan menimbulkan bunyi
berderak cukup keras. Tapi Om Wi' tak peduli dan terus merangsekku ke
dinding.
Akhirnya kami melakukannya sambil berdiri. Saling melumat, saling
membelit. Saling menekan dan saling menggesek. Ia terus mendesakku
layaknya seorang lawan yang sudah lama ingin ia lampiaskan untuk
berbalas dendam.