Sore itu cuaca begitu buruk, langit tampak
gelap dengan gerimis yang mulai turun. Aku sendiri bete banget di
kost-kost-an, sepi. Pak Arman bapak kostku masih di kantor, ibu kost
ngurusin bisnisnya di luar kota dan kedua anak ibu kost kuliah di
Jakarta, itu pula yang mungkin menjadi alasan mereka mau 'menampung'
aku, 'dari pada sepi'.
Yang kost di rumah ini memang hanya aku sendiri, jadi sudah seperti
keluarga. Aku sendiri masih duduk di bangku SMA kelas 2. Tapi karena
kebetulan jarak sekolahku lumayan jauh, aku disuruh kost. Pak Arman
sendiri adalah kenalan Bapakku.
"Bi, masak apa hari ini..?" dari pada menganggur, kuhampiri Bi Onah di dapur.
"Eh, Den Anto, biasa Den.. gulai kambing kesukaannya Tuan Arman."
"Wiih asiik Anto juga suka! Apalagi kalo Bibi yang masak, hmm.. enggak ada duanya Bi!"
Si Bibi hanya tersenyum.
"Anto bantuin ya?"
"Aduh enggak usah, Den! Inikan kerjaannya cewek.."
"Kata siapa, Bi. Sekarang mah udah berubah, enggak ada lagi
perbedaan kayak gitu. Buktinya direstoran-restoran terkenal kebanyakan
tukang masaknya cowok!"
"Tapi, Den.."
"Udah, enggak apa-apa Bi, dari pada bengong. Sekarang mana yang bisa Anto bantu?"
Akhirnya si Bibi nyerah juga. Aku bantuin apa saja sebisaku, motong-motong daging, menggoreng bumbu, wah ternyata asyik juga.
"Ada koki baru, nih?" tiba-tiba terdengar suara berat di belakangku, aku menengok, ternyata Pak Arman.
"Eh, Bapak..!" aku jadi malu sendiri, "Dari pada bengong nih Pak, apalagi tadi bete banget!"
Pak Arman hanya tersenyum.
"Pakaian Bapak kok basah semua?"
"Tadi mobilnya mogok di tengah jalan, ya udah mau enggak mau kudu hujan-hujanan.."
Aku terus menatap tubuh Pak Arman. Dalam pakaian basah seperti itu
jelas sekali terlihat bentuk tubuhnya. Di usia kepala empat, Pak Arman
memang masih kelihatan gagah dan kekar. Aku sedikit berdesir melihat
tonjolan besar di balik celananya.
"Mandi dulu Tuan, nanti masuk angin.." si Bibi tiba-tiba menyela dari belakang.
"Iya Pak, lagian Ibu lagi enggak ada, entar siapa yang ngerokin!"
"Kan ada kamu!" Pak Arman tertawa mendengar gurauanku, tetapi kemudian ia segera berlalu ke kamar mandi.
Tak lama terdengar suara guyuran air. Tiba-tiba aku membayangkan
bagaimana keadaan Pak Arman waktu bugil, memikirkan itu kemaluanku
langsung mengeras. Malam itu sama sekali aku tidak dapat tidur. Entah
kenapa tubuh Pak Arman yang basah terus terbayang di mataku. Busyet!
Kenapa jadi begini? Untung acara TV malam itu lumayan bagus, jadi aku
dapat sedikit mengesampingkannya.
"Belum ngantuk, To?"
Aduh, suara itu lagi.
"Eh, belum Pak..!"
Aku sedikit gerogi ketika Pak Arman duduk di pinggirku, padahal dulu-dulu tidak seperti ini.
"Acaranya bagus?" Pak Arman menatapku, oh Tuhan matanya begitu teduh.
"Lumayan Pak, buat nyepetin mata yang enggak bisa di ajak kompromi.."
Sesaat suasana hening.
"Bapak juga kok enggak tidur..?" kucoba memecahkan suasana, "Kangen Ibu, ya?"
Pak Arman tersenyum.
"Saya sudah biasa di tinggal istri, To.."
"Sorry, Pak.."
Aku jadi merasa tidak enak sendiri.
Malam semakin larut dan udara makin terasa dingin, dan kami masih asyik nonton TV, walaupun pikiran saya tidak tertuju kesana.
"To, Kepala saya agak pusing.., mau enggak kamu pijitin kepala saya..?"
Aduh saya benar-benar tidak tahu harus berbuat seperti apa. Pak Arman terus menatapku.
"I.., iya Pak..!" ujarku sedikit gugup. Aku kemudian berdiri.
"Mau kemana?"
"Mijitin kepala Bapak.."
"Udah kamu duduk disitu aja.."
Tanganku ditariknya kembali ke kursi panjang.
Sungguh aku tak mengerti. Aku kemudian duduk kembali dan tiba-tiba
Pak Arman merebahkan kepalanya di pangkuanku. Sungguh saat itu aku
tidak dapat mengendalikan lagi denyut jantungku.
"Di sini, To.." Pak Arman memegang tanganku dan kemudian diletakkan di keningnya.
Untuk sesaat aku terpaku dan kemudian dengan sedikit gemetar
memijat keningnya. Kulihat Pak Arman memejamkan matanya. Dengan takut
dan ragu-ragu kuperhatikan wajahnya. Sungguh sangat sempurna. Alis yang
rimbun, hidung yang bangir, kumis tebal dan kaku, dagu yang terbelah..,
oh Tuhan aku nyaris tak dapat mengendalikan diri.
"Oh, Nikmat sekali, To.." Pak Arman mendesaah perlahan.
"Aku jadi ngantuk, boleh tidur disini dulu enggak? Entar kalau acaranya selesai, bangunkan ya!"
"Ya, Pak.."
Entah mimpi apa aku semalam bisa berduaan seperti ini dengan Pak
Arman. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Tetapi kulihat Pak Arman tidak
juga memejamkan matanya.
"Kenapa, Pak? Katanya mau tidur?"
Pak Arman terus menatapku, aku jadi salah tingkah.
"Aku teringat, Diko. Sudah 5 bulan aku tidak ketemu dengannya."
"Dia kan sedang kuliah, Pak.."
"Waktu kecil dia selalu kupangku seperti ini sambil kubelai rambutnya. Tak terasa anak-anak begitu cepat besar."
Kulihat mata Pak Arman menerawang.
"Waktu mereka masih ada, aku tak begitu merasa kesepian seperti
sekarang, tapi ya begitulah tugas orang tua, memang cuma membesarkan
dan mendidik anak, setelah itu.. Aku bersyukur ketika kemudian kamu
kost disini, setidaknya rumah ini tidak begitu sepi lagi."
Aku begitu terharu mendengar kata-kata Pak Arman, begitu
menyentuh. Dan tak terasa tanganku bukan lagi memijat, tapi telah
membelai rambut Pak Arman. Pak Arman memejamkan matanya sepertinya ia
menikmati semuanya.
"Semua orang tua mungkin pernah merasakan hal yang sama seperti
Bapak.." aku mencoba menghibur, "Dan kalau Bapak mau, saya siap untuk
menjadi teman bicara Bapak, kapan saja, asal Bapak tidak merasa
kesepian.."
Pak Arman membuka matanya. Dipegangnya tanganku.
"Sungguh..?"
Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman tersenyum, kemudian ia mencium tanganku.
"Thanks.." katanya manis.
Ya Tuhan, dadaku seakan mau meledak merasakan hangatnya bibir Pak
Arman disertai gesekan kumisnya di tanganku. Aku bingung harus berbuat
apa. Pak Arman tersenyum melihatku, kemudian ia meletakan tanganku di
pipinya. Sejenak aku terpaku. Perlahan kemudian kubelai pipinya yang
kasar. Pak Arman memejamkan matanya. Aku terus membelainya, merasakan
jambangnya yang belum dicukur. Aku penasaran sekali dengan kumisnya.
"Kumis Bapak bagus.."
"Kamu suka..?"
"Ya, kelihatannya gagah.."
Dengan ragu kubelai kumis Pak Arman. Ia tetap diam seperti sedang
menikmati semuanya. Bibirnya tampak sedikit merekah, begitu indah dan
merangsang, serasi sekali dengan kumisnya yang tebal. Aku sudah tak
dapat menahan diri lagi. Perlahan kubelai bibir itu dengan gemetar.
Sebenarnya aku takut dianggap tidak sopan, tapi kulihat Pak Arman
tidak ada reaksi apa-apa. Aku semakin berani. Pak Arman kulihat semakin
membuka bibirnya dan tanpa kuduga, tiba-tiba ia mencium jariku dan
kemudian menghisapnya dengan perlahan. Aku begitu terpana. Matanya
terbuka, ia tersenyum manis kemudian bangkit dari pangkuanku.
Dipegangnya bahuku.
"Aku ingin tidur bersama kamu.."
Direbahkannya tubuhku di kursi yang sempit. Ia kemudian ikut tidur
sambil memeluk tubuhku. Aku teramat merasakan kepadatan tubuhnya yang
membuatku semakin nafsu. Ia membelai rambutku. Aku tatap matanya, ia
tersenyum, didekatkan kepalanya dan tiba-tiba ia mencium bibirku.
Lembuut sekali. Aku memejamkan mata meresapi sensasi yang begitu indah.
Ketika kubuka mataku ia sedang menatap wajahku, kemudian dielusnya
pipiku, alisku, bibirku, dan kemudian ia menciumku lagi lebih lama.
Bibirnya terasa manis, kurasakan lidahnya menelusup di rongga mulutku.
Aku merasakan nikmat yang amat sangat, apalagi kumisnya begitu kasar.
Kucengkeram punggungnya dengan kuat, nafasku semakin memburu.
Pak Arman benar-benar ahli, aku yang baru pertama kali mengalaminya
seperti orang meriang. Pak Arman tiba-tiba melepaskan ciumannya, ia
menatapku dengan mesra.
"Kamu menyukainya, To..?"
Ya ampun.., kenapa dia harus bertanya seperti itu, sementara
nafsuku semakin membuncah. Aku menganggukan kepala seraya membelai
lehernya.
"Ini yang pertama, Pak.."
Aku mendekatkan lagi bibirku dan dengan ganas kembali kulumat bibir jantannya. Kutindih tubuhnya dengan nafsu.
"Jangan disini, To.."
Aku menghentikan aksiku. Pak Arman bangkit. Dimatikannya TV,
kemudian ia mencium keningku sebelum membopongku ke kamarnya. Aku
terpekik sejenak, tapi langsung kupeluk leher Pak Arman sambil kucium
dadanya. Pak Arman tertawa kecil.
Sesampainya di kamar, dengan perlahan direbahkannya tubuhku. Sambil
menindihku Pak Arman terus menatap mataku dengan mesra, aku sampai
tersipu. Kupeluk tubuhnya sambil kugigit lehernya, Pak Arman sampai
terpekik.
"Wah, kamu mirip drakula.." Pak Arman terus menggodaku.
"Tapi drakula amatir.." balasku.
Pak arman tersenyum. Dipijatnya hidungku.
"Nih kalau yang profesional!"
Tiba-tiba Pak Arman telah mencium leherku dengan gigitan-gigitan
kecilnya. Aku terlonjak, geli tapi nikmat, apalagi kumisnya terasa
sekali menusuk-nusuk leherku.
Aku mengerang sambil menjambak rambutnya. Aku benar-benar tak kuat.
Kakiku langsung kubelitkan di tubuhnya sambil menggeliat-geliat dengan
liar. Pak Arman semakin bernafsu. Kini ia telah membuka bajuku,
dijilatinya dadaku. Aku menjerit, benar-benar sensasi baru yang teramat
indah. Aku semakin mempererat pelukanku, apalagi saat Pak Arman
mengulum puting susuku, tubuhku sampai melengkung menahan
kenikmatannya.
"Pak Arman, oohh.."
Pak Arman seperti tidak perduli dengan keadaanku, ia semakin buas.
Tak lama kemudian tubuhku telah telanjang bulat, dan ia benar-benar
membuatku tak berkutik. Ketika ia membuka bajunya, aku benar-benar
terpana melihat tubuhnya yang masih berotot dengan bulu-bulu yang
membelukar, membuatku semakin tak kuat, apalagi saat ia membuka celana
dalamnya, oh.., batang kejantanannya begitu besar dan kaku. Aku sampai
ngeri sendiri.
Ia kembali menghampiriku dengan nafasnya yang memburu. Aku
menyambutnya, kupeluk tubuhnya yang besar. Kubelai punggungnya sambil
kuresapi ciumannya. Tangannya begitu nakal, dibelainya pahaku secara
perlahan, dan kemudian bergeser ke arah batang kemaluanku yang tidak
begitu besar. Aku pun tidak mau kalah, kuremas kejantanannya yang
seperti pentungan hansip, Pak Arman mendesah. Aku kemudian melepaskan
diri dari pelukannya. Kuciumi batang kejantanan yang begitu gagah,
desahan Pak Arman makin keras. Di ujung kejantanannya yang hitam
terlihat mulai keluar cairan bening, aku langsung menjilatinya, terasa
asin tapi nikmat. Setelah itu langsung kukulum batangnya.
"Ohh.. nikmat sekali, To! Terus, To!" Pak Arman mencengkram kepalaku.
Aku semakin bersemangat, terus kukulum kejantanan itu sambil
kumainkan lidahku di ujungnya, dan terkadang kugigit pelan karena
gemas. Kemaluan Pak Arman begitu perkasa. Pak Arman terus mencengkram
kepalaku. Bosan dengan itu kuciumi lipatan paha Pak Arman, ooh.. terasa
sekali bau kelelakiannya. Lama juga aku bermain di situ, kemudian
pelirnya kucium dan kukulum, sementara tanganku bermain di anusnya yang
dipenuhi bulu. Aku mencoba memasukkan telunjukku, terasa sulit, tapi
lama-lama bisa juga.
"Terus, to.. oh.., nikmat sekali.." Pak Arman semakin menggelinjang.
Kemudian kubalikkan tubuh Pak Arman. Kubelai pantatnya yang gempal,
kucium dan terkadang kugigit. Oh.. nikmat sekali. Perlahan kubuka
bongkahan pantatnya, kemudian kusibakkan bulu-bulunya yang lebat,
terlihat anusnya yang mungil kemerahan seakan menantangku untuk
mengulumnya. Langsung saja kujilati anusnya, desahan Pak Arman
terdengar semakin keras, apalagi saat lidahku masuk ke lubangnya dan
kemudian menghisapnya. Anusnya terasa harum sekali, sungguh aku sangat
menyukainya.
"Oh.., Anton, Bapak enggak kuat lagi.."
Tiba-tiba Pak Arman membalikkan tubuhnya, dan kemudian membantingku ke kasur. Diciumnya leherku dengan ganas.
"Boleh, Bapak ngentot kamu..?" ia menatapku dengan harap.
Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman langsung berdiri, kemudian ia
menundukkan kepalanya di selangkanganku, kakiku ditariknya dan kemudian
dijilatinya anusku. Oh Tuhan nikmat sekali, apalagi kumisnya kuat
sekali menggesek-gesek kulitku.
Tak lama ia mengangkat kakiku, kemudian diletakkannya di pundaknya,
batang kejantanannya terasa sekali menyentuh anusku. Sesaat aku merasa
ngeri membayangkan batang kejantanan Pak Arman yang besar membobol
anusku yang kecil, tapi nafsu telah mengalahkan segalanya. Pak Arman
sendiri tampaknya kesulitan memasukkan kejantanannya. Ia kemudian
memakai ludahnya untuk dijadikan pelumas, tak lama batang itu mulai
masuk, aku menjerit kesakitan.
"Tahan dulu Sayang, Nanti juga tidak sakit.."
Aku menganggukan kepalaku.
Batang kejantanan Pak Arman makin masuk dan aku makin kesakitan.
Pak Arman kemudian menciumbibirku sambil terus memasukkan kemaluannya.
Ketika semuanya telah masuk, jeritanku semakin keras. Kemudian kugigit
lehernya. Aku menangis kesakitan. Pak Arman diam sejenak, mencium
bibirku, menjilati leherku dan mengulum telingaku. Sejenak aku
melupakan rasa sakit itu. Ketika aku tidak menjerit lagi, ia mulai
menggerakan batang kejantanannya. Kembali aku menangis kesakitan.
"Sabar Sayang.., nanti juga kau akan merasakan nikmat.." Pak Arman
berusaha menghiburku sambil terus memberiku rangsangan-rangsangan.
Memang benar apa yang dikatakan Pak Arman, lama-lama aku merasakan
nikmat juga. Perlahan kuimbangi gerakan Pak Arman sambil kubelai
punggungnya yang liat. Keringat Pak Arman tampak sudah membanjir.
"Terus Pak.., terus..!" Aku semakin merasa keenakan.
Kupeluk tubuh Pak Arman makin erat, kucium ketiaknya dan kugigit lengannya.
"Oh.., anusmu nikmat sekali, Sayang.."
Gerakan Pak Arman semakin liar, digigitnya leher dan dadaku hingga
membekaskan noda merah. Terasa sekali batang kejantanannya dengan kuat
menyodok-nyodok anusku.
"Gimana Sayang.., apakah masih merasa sakit..?"
"Enggak Pak, nikmat sekali.."
Kugigit puting Pak Arman yang berwarna kemerahan. Kusedot-sedot
hingga gerakan Pak Arman semakin cepat. Pantatnya yang gempal kembali
kubelai, kuremas dan kubelai bulu kemaluannya sambil memainkan anusnya.
Sesekali jariku menusuk-nusuk anusnya.
"Aku tak kuat lagi Anto.."
Tubuh Pak Arman tampak gemetar, kemudian ia memelukku dengan erat
sambil menggigit dadaku. Dan kurasakan denyutan keras di anusku
disertai semburan hangat.
Ketika semuanya reda, Pak Arman tetap memelukku, kubelai dan kuseka
keringat di wajahnya. Kemudian kembali kubelai rambutnya. Pak Arman
memejamkan matanya.
"Terima kasih Sayang, aku puas sekali..!"
Diremasnya pundakku tanpa membuka matanya.
"Kamu ingin juga dikeluarkan..?" tiba-tiba Pak Armani membuka matanya dan menatapku.
Aku menggelengkan kepala, "Enggak usah sekarang, Pak.." aku tersenyum, "Aku hanya ingin membahagiakan Bapak.."
Pak Arman kemudian mencium pipiku dengan mesra.
"Lebih menyenangkan memeluk Bapak seperti ini.."
Kembali kurengkuh tubuh itu dengan kuat, kubelai sampai kemudian
Pak Arman tidur di dadaku. Oh.., bahagia sekali rasanya hatiku, dan ini
bukan mimpi.
Kami terus melakukan hal itu sampai saya lulus dari SMA, dan
kemudian kuliah di luar kota. Sejak itulah kami jarang bertemu, tapi
saya akan terus mengingat Pak Arman, karena saya amat mencintainya. Dan
entah mengapa sejak saat itu saya lebih bernafsu dengan melihat tubuh
cowok yang lebih dewasa atau bapak-bapak. Untuk teman-teman yang ingin
menjadi sahabat saya, dapat menghubungi saya.
TAMAT