Sebelum sepuluh tahun yang lalu aku hanyalah
anak laki-laki biasa yang senang bermain bola di lapangan yang becek
sisa hujan semalam atau berlari-larian mengejar layangan putus sampai
ke kebun orang dan dimarahi sang pemilik kebun. Tapi kemudian..
***
"Kak, mandi dulu baru makan!" teriak ibuku dari dapur.
"Ntar ah, lapar nih, Bu!" balasku juga berteriak.
"Kamu sih, main dari mulai pulang sekolah, baru pulang sore-sore begini." Ibuku mengomel.
Habis mau bagaimana lagi aku suka sekali bermain layangan, apalagi
sekarang sedang musimnya, jadi banyak sekali layang-layang yang
berterbangan di atas langit sana mengajakku bermain kejar-kejaran
dengannya.
"Ntar Mas Agus mau ke sini lho!" ucap ibuku.
"Iya, udah tahu!" balasku.
Mas Agus, pamanku, adalah anak dari kakak perempuan ayahku yang
tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan candi
Borobudurnya, dan di situ pulalah Mas Agus bekerja sebagai seorang
tentara berpangkat sersan dua. Tapi walaupun tempat tinggal kami
berjauhan, keluarga kami dan paman sudah sangat dekat. Dua atau tiga
minggu sekali Mas Agus datang berkunjung ke rumah kami di Bandung.
Apabila paman datang aku pasti merasa sangat senang. Mengapa?
Karena paman sangat baik, ia selalu mengajakku pergi berbelanja ke
supermarket, dia membelikan banyak sekali barang yang kuminta. Ia
sangat suka dengan anak kecil. Selain itu Mas Agus belum menikah
padahal umurnya sudah hampir kepala tiga. Ia bilang pada ayahku bahwa
ia belum siap untuk berumah tangga.
"Indra sini, ada Mas Agus." panggil ibuku dari ruang tamu.
"Bentar Bu, lagi mandi." teriakku dari dalam kamar mandi.
Kupercepat mandiku, kubilas seluruh busa-busa sabun yang menempel
di badan hingga bersih, kemudian kuambil handuk dan kukeringkan di
tubuhku. Lalu aku bergegas masuk kamar. Saat pintu kamar kubuka,
ternyata Mas Agus sudah ada di dalam kamar.
"Udah mandinya?" tanyanya.
"Udah, seger banget Mas!" jawabku.
"Sini dibajuin sama Mas Agus."
"Lepasin dulu handuknya, Ndra!"
Kulepaskan handuk dari tubuhku. Paman menatapku dengan pandangan aneh, lurus dan tajam ke arahku, tepatnya tubuhku.
"Mas Agus! Mas Agus!" kupanggil namanya beberapa kali. Dan seperti
bangun dari mimpinya, dengan sedikit terhentak Mas Agus tersadar
kembali.
"Oh, mm, kamu ambil bajunya terus bawa ke sini, biar Mas agus yang pakein."
Kupilih salah satu t-shirt di dalam lemari, juga kaus dalam, CD,
dan celana pendeknya, dan kemudian memberikannya pada Mas Agus. Mas
Agus menerimanya dan meletakkan semuanya di atas kasur. Kemudian ia
meraih bedak powder di atas meja di samping ranjang.
"Mas itu mah bedaknya ade. Aku kan udah gede udah nggak pake bedak lagi" ucapku saat itu juga.
"Ah, nggak apa-apa kok biar wangi." jawabnya.
Mas Agus mulai menaburkan bedak dan menggosokkannya dengan rata ke seluruh tubuhku, termasuk pantatku, dan.. penisku.
"Badan kamu bagus, udah besar mau jadi apa? Mau nggak jadi
tentara?" tanya pamanku masih sambil menggosok-gosokan bedak di
tubuhku.
"Nggak tau ah, gimana entar aja." jawabku sambil agak ketawa, habis geli banget diraba-raba sama Mas Agus.
"Sebentar yah!" Mas Agus beranjak dari ranjang menuju pintu kamar kemudian menguncinya.
"Kalo kamu jadi tentara nanti badan kamu bakal kebentuk seperti paman. Nih Mas Agus tunjukin badan Mas Agus."
Paman mulai membuka pakaiannya helai demi helai. Diawali dengan
kemeja biru langitnya, lalu kaus singletnya. Wah, badan Mas Agus memang
bagus banget, dadanya keren, walaupun tidak begitu besar tapi berisi.
Perutnya, wah kalau sekarang nih orang bilang six-packs. Lalu Mas Agus
mulai membuka celana panjangnya. Di dalamnya terlihat CD-nya yang
berwarna putih. Kemudian ia lanjutkan helai terakhir dan, wah.. besar
sekali, di sekelilingnya juga ada hamparan bulu-bulu halus yang rapi
terpotong pendek.
"Sini coba kamu pegang badan Mas Agus." pintanya.
"Nah, kalau kamu mau jadi tentara kamu harus banyak olahraga dari
sekarang, jadi badan kamu akan terbentuk seperti badan Mas Agus."
Dijelaskannya bagaimana ia bisa memiliki tubuh yang dibanggakannya
sambil menuntun tanganku di sekitar dada dan perutnya.
"Ini kamu juga bakal ikut besar." ucapnya sambil memegang penisku.
"Indra! Turun dulu!" Mas Agus spontan melepaskan tangannya dari
penisku dan kembali memakai pakaian yang tadi dilepasnya saat mendengar
teriakan Ibuku dari bawah.
"Iya!" teriakku sambil memakai pakaian yang dari tadi menunggu untuk kukenakan.
Saat malam sambil menonton televisi di ruang keluarga, paman menghampiri dan menaikkanku dalam pangkuannya.
"Kok nggak belajar?" tanyanya memulai percakapan.
"Nggak ada PR" jawabku singkat.
"Belajar kan nggak harus pas ada PR." ucapnya menasehati. Aku diam saja, tak membalas.
Masih dalam pangkuan Mas Agus, waktu berlalu tanpa berkata sampai
mataku akhirnya terpejam kelelahan, terlelap dalam pangkuannya. Tapi
dalam hening malam itu, aku terusik oleh sesuatu. Tapi apa? Aku merasa
ada seseorang yang meraba-raba tubuhku. Aku merasa begitu geli. Tapi
kemudian rabaan-rabaan itu berhenti. Aku ingin membuka mataku.
Sedikit demi sedikit mataku terbuka. Dimana ini? Oh ini kan kamar
tamu, pasti tadi Mas Agus menggotongku ke kamarnya karena aku
ketiduran. Bola mataku bergerak ke arah kanan dan kulihat samar Mas
Agus berdiri di samping ranjang sedang membuka helai demi helai
pakaiannya. Setelah semua pakaiannya tanggal dari tubuhnya kemudian ia
mengambil sesuatu di dalam tas ransel yang dibawanya. Kemudian paman
duduk di ranjang, tepat di sampingku. Segera aku kembali memejamkan
mataku, berpura-pura tidur. Tapi kemudian..
"Indra.. Indra..!" terdengar paman berbisik di telingaku, membangunkanku. Kubuka mataku pelan-pelan.
"A-apa?" tanyaku berdebar-debar.
"Mas Agus pegal-pegal nih, kamu pijitin sebentar yah!" pintanya.
"Kamu nggak kepanasan? Sini Mas Agus bukain bajunya." Tanpa
mendengar jawabanku, paman langsung melucuti pakaianku satu persatu
sampai telanjang sama sepertinya. Kemudian paman merebahkan tubuhnya,
tengkurap di ranjang.
"Kamu pijitin Mas Agus, yah! Kamu duduk di punggung Mas Agus aja
biar gampang." ucapnya. Kuturuti sarannya dan lalu kemudian mulai
menggerak-gerakkan jariku di pundaknya.
"Iya di situ Ndra, duh enak banget!" ucapnya puas.
Iya Mas Agus enak, nah aku, orang lagi mengantuk malah disuruh
mijit. Tak pelak hampir tiap menitnya aku menguap karena mengantuk.
Tapi kemudian..
"Pantat Mas Agus juga pegel nih, pijit yah!" pintanya lagi.
"Iya." jawabku singkat. Aku bergeser mundur hingga kudapat posisi
terbaik untuk memijat. Dan kembalilah jari-jariku bekerja. Memijat
pantatnya yang padat berisi.
"Kok nggak kerasa yah, digigit aja deh!" pintanya.
"Digigit?" tanyaku spontan.
"Iya digigit, tapi jangan keras-keras!" jelasnya.
Untuk sejenak aku terdiam. Apa? Aku harus memijat pantat Mas Agus
dengan gigiku. Pantat yang berwarna lebih terang dari bagian tubuhnya
yang lain itu, dengan mulutku. Namun kemudian aku tersadar kembali oleh
suara Mas Agus.
"Ayo dong Ndra!" pintanya.
"I-iya." jawabku.
Kubuka mulutku agak lebar, mendekatkan wajahku sampai akhirnya
mendarat di permukaannya. Dan selanjutnya semua berjalan sesuai
instruksi.
"Sambil dijilat Ndra biar licin!"
"Ah.."
"Disedot juga dong!"
"Nah.. Iya gitu!"
"Terus.. Terus Ndra.." ucapnya. Beberapa saat kemudian aku terhentak ketika secara tiba-tiba Mas Agus membalikkan tubuhnya.
"Sekarang yang ini!" katanya sambil menunjuk penisnya.
Karena aku ingin ini segera berakhir, tanpa banyak bertanya
langsung saja kulakukan perintahnya. Dan instruksi-instruksi itu pun
berlanjut. Aku dapat merasakan penis itu semakin lama semakin membesar.
Warnanya pun yang tadinya putih kini memerah. Sampai akhirnya mulutku
hanya dapat dimasuki bagian kepalanya saja. Sementara aku yang semakin
mengantuk, mendengar suara desahan-desahan Mas Agus yang kian menderu.
Hingga saat dimana kurasakan penisnya menyodok-nyodok masuk ke mulutku
dan membanjiri isinya dengan cairan sperma Mas Agus yang hangat.
Kemudian Mas Agus menarikku ke dalam dekapannya. Memelukku erat,
mencium bibirku sampai lidahnya masuk dan merebut sebagian sperma yang
tadi ia berikan padaku. Lalu diciuminya leherku, dielusnya tubuhku,
sementara aku telah terlelap dan membisu.
Lima tahun kemudian, lima tahun sebelum hari ini Mas Agus yang
sudah empat tahun tak pernah lagi berkunjung karena ditugaskan di luar
kota, sore itu di hari Sabtu yang agak kelabu ia datang dengan seragam
lengkapnya. Tapi kali ini ia datang tidak sendirian, ia datang bersama
seorang wanita yang ia akui sebagai istrinya yang baru dinikahinya
sekitar satu tahun yang lalu. Aku yang saat itu masih baru mengerti
bahwa kejadian di malam dulu itu bukanlah hanya pijat-memijat biasa,
merasa tidak percaya. Mungkinkah Mas Agus tidak seperti yang kupikirkan
selama ini. Tapi.. aku.. aku telah telanjur 'sakit'..
Kuambil kursi itu dari tempatnya semula. Kemudian kuletakkan tepat
di depan pintu. Pintu kamar dimana Mas Agus dan istrinya tidur. Sengaja
aku tak tidur sampai lewat tengah malam begini hanya untuk membuktikan
sesuatu. Kulihat dari celah udara yang sempit itu dan, kulihat Mas Agus
di sana tepat sedang menindih tubuh istrinya. Mas agus
menggerak-gerakkan penisnya keluar masuk vagina istrinya sambil
tangannya mengelus-elus kedua buah dada istrinya. Sementara bibirnya
sedang menggerayangi bagian leher.
Istri Mas Agus terlihat sangat menikmatinya, terlihat dari
erangan-erangannya. Tapi tak lama kemudian semua berakhir, Mas Agus
sudah berada di puncak dan melepaskan semua spermanya masuk ke dalam
vagina istrinya. Kuletakkan kembali kursi kembali ke tempatnya. Lalu
aku beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Sendiri dalam temaram
hanya ada cahaya televisi aku berniat untuk begadang sampai pagi dan
mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Karena jawaban dari
pertanyaanku sepertinya sudah terjawab langsung di mataku. Mungkin
memang aku yang beranggapan salah..
"Kok belum tidur?" Tiba-tiba saja kudengar suara Mas Agus di
sampingku mengagetkanku. Tapi aku diam tidak bisa menjawab. Mas Agus
yang datang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek itu
membuatku menjadi gagu.
"Tolong pijitin Mas Agus, dong!" Tiba-tiba kalimat itu terdengar lagi setelah sekian lama. Tapi aku tetap diam.
"Ayo dong, sebentar aja kok!" lanjutnya.
Kemudian pelan-pelan mulai kuangkat tanganku ke atas pundaknya,
lalu menyentuhnya. Tapi kemudian aku teringat akan kejadian yang baru
saja kulihat. Kali ini dengan cepat kuangkat kembali tanganku dari
pundaknya.
"Mas Agus, maaf Indra ngantuk, mau tidur." ucapku sambil berlalu.
Keesokkan malamnya aku terbangun karena tak kuasa menahan rasa
untuk buang air kecil. Lalu dengan sedikit berlari, aku bergegas ke
kamar mandi. Kubuka pintunya dan kuperosotkan celana dengan cepat lalu
CD dan, ahh.. lega sekali, seperti melepaskan beban. Setelah tetes
terakhir kusiram penis dan lubang WC dengan air. Saat aku balikkan
badan, kulihat Mas Agus sudah barada tepat di depan pintu. Langsung
kutarik naik CD dan celanaku cepat lalu beranjak pergi.
Aku baru sampai di depan pintu kamarku ketika kurasa tangan itu
menahanku dari belakang. Lalu membalikkan tubuhku. Aku tertunduk bisu.
Lalu tiba-tiba ia mengangkat tubuhku, menggendongku masuk ke dalam
kamarku. Setelah mengunci pintu, diturunkannya aku di tepi ranjang.
Kemudian ia mengangkat wajahku yang tertunduk dan mendaratkan bibirnya
tepat di bibirku.
Ciuman itu begitu lembut, perlahan tapi dapat kurasakan getarannya.
Tanpa sadar tubuhku terjatuh di atas ranjang sambil terus berciuman.
Lidah kami saling bertemu. Kemudian ia melepaskan pakaianku sambil
menikmati ciumanku di bibirnya. Lalu ia mulai menjelajah daerah
leherku, dijilatnya leher dan telingaku sampai memerah. Lalu ia bangkit
dan membuka T-shirt yang dipakainya.
Setelah bajunya terlepas kuambil inisiatif untuk membuka sendiri
celana yang dikenakannya juga CD-nya. Dan terlihat jelas kini apa yang
sudah empat tahun tak pernah lagi kulihat. Tubuh itu masih tampak
kekar. Sebuah penis berukuran besar yang teracung berwarna kemerahan
dan di sekitarnya nampak bulu-bulu halus kini terpampang di depanku.
Kujilati penis itu dengan lidahku dari buahnya sampai kepala penisnya.
Lalu kulahap masuk ke dalam mulutku. Kugerakkan keluar masuk sambil
kumainkan lidahku.
"Oh.. terus 'Ndra!" ucapnya lembut. Kemudian ia memintaku berhenti dan melepaskan celana dan CD-ku.
"Ternyata kamu udah besar, yah!" ucapnya sambil tersenyum. Lalu dikulumnya penisku sampai memerah.
"Sekarang kamu masukin punya kamu ke sini, yah!" ucapnya sambil
bergaya doggy style dan menunjuk lubang analnya. Kumasukkan penisku
perlahan, pertama terasa sulit, tapi kemudian..
"Ah.. Ah.. Ah! Mas Aku mau keluar, nih!" ucapku dalam gairah. Mas Agus kemudian bangkit dan mengulum penisku hingga..
"Ah..!" erangku.
Spermaku masuk ke dalam mulutnya terus ke tenggorokannya. Tidak
berhenti sampai di situ, kemudian ia baringkan tubuh lemasku di atas
tubuhnya sehingga pantatku tepat berada di atas penisnya. Kemudian ia
masukkan penisnya ke dalam lubangku dengan tangannya. Nikmat sekali.
Sampai akhirnya Mas Agus bangkit menyemburkan semuanya di atas wajahku.
Dalam lelah dan kantuk, dengan mata sedikit terbuka kulihat Mas
Agus berpakaian dan pergi meninggalkan kamarku, meninggalkan aku dalam
dasar jurang yang gelap sampai hari ini..
E N D