Iding adalah sosok anak jalanan Ibukota.
Remaja yatim piatu yang berusia 16 tahun itu sudah 3 tahun mengadu
nasib di Jakarta. Dia merantau ke Ibukota, setelah kedua orangtuanya
meninggal akibat wabah muntaber yang melanda desa Cikunir, Kabupaten
Lebak. Dalam usianya yang relatif muda itu, Iding sudah tahu banyak
tentang sex. Ketika tiba di Ibukota, dia terdampar di lokalisasi WTS
Bongkaran.
Di sana dia ditampung oleh seorang mucikari untuk membantu
membelikan rokok atau makanan dan minuman untuk para tamu, membersihkan
kamar-kamar dan mencuci sprei. Pengalaman sexnya yang pertama adalah
ketika salah satu wanita pekerja sex komersial di tempat itu iseng
menghisap perangkat birahinya yang mungil, lalu mereguk air maninya
yang masih segar kental kekuningan sebagai jamu awet muda. Iding tidak
bisa melupakan kenikmatan dahsyat yang dialaminya pada usia 13 tahun
itu. Sejak itu dia berusaha merasakan kenikmatan itu dengan segala
cara.
Tapi ketika dia meminta para wanita penghibur yang lebih tua itu
memberikannya kenikmatan itu, dia malah ditertawakan. Merasa kecewa dan
sakit hati, maka dia membujuk bahkan adakalanya memaksa para anak
laki-laki yang lebih kecil di sekitarnya untuk memuaskan nafsu
birahinya yang menggebu. Kadang-kadang dengan imbalan jajan bakso, uang
Rp 200 atau permen. Selama 3 tahun terakhir ini, sedikitnya 3 hari
sekali dia melampiaskan nafsunya itu. Dia mencoba berbagai cara untuk
mencapai puncak kenikmatan birahinya, misalnya dengan menjepitkan
perangkat birahinya di selangkangan teman mainnya, memasukkan batang
kejantanannya ke lubang dubur temannya kemudian memompanya atau sekedar
saling mengocok batang kejantanan satu sama lain.
Rasa dendamnya akibat ditolak saat ingin "bersedap-sedap" dengan
wanita penghibur di Bongkaran 3 tahun lalu, membuatnya sama sekali
tidak berminat untuk berhubungan sex dengan lawan jenisnya. Lagipula,
anak laki-laki yang lebih kecil selalu menuruti kemauannya. Untuk
bertahan hidup di Ibukota, Iding berjualan koran di pagi dan sore hari.
Dia biasa beroperasi di Stasiun Senen. Dengan penghasilan kotor sekitar
Rp 300.000 sebulan, dia bisa menyewa pondokan (sebuah kamar berukuran
1,5 x 2 meter) di kawasan kumuh di sepanjang rel kereta api di daerah
Tanah Tinggi. Kamar itu sangat sederhana, berdinding triplex,
berjendela kawat, beratap seng dan lantai semen.
Tapi dengan sewa Rp 50.000, lumayanlah sekedar tempat berteduh.
Perabot di kamar itu hanya sehelai tikar usang, kapstok yang dipaku di
pintu, sebuah cermin, sebuah lampu teplok, sebuah kotak karton tempat
menyimpan pakaian dan sebuah kaleng berisi sikat gigi, pasta gigi dan
sabun mandi.
Sore itu, seperti biasanya, Iding berjualan koran di peron Stasiun
Senen Dia merasa gelisah. Perangkat birahinya terasa gatal, siap
bertarung. Sudah 3 hari dia tak mengadu perangkat birahinya. Dia mulai
bosan bertarung dengan teman yang itu-itu saja. Dia ingin melakukan
permainan yang lebih asyik dan menggairahkan dengan pasangan main yang
baru. Tiba-tiba dilihatnya Nday, anak gelandangan berusia sekitar 13
tahun, yang biasa mengemis di stasiun. Selama ini dia tak terlalu
peduli pada anak kecil itu.
Entah mengapa, kali ini dia memperhatikan anak jalanan itu dengan
serius Nafsu birahinya timbul melihat penampilan Nday. Perawakannya
kecil tapi atletis. Wajahnya manis dan lugu kekanak-kanakan. Pahanya
yang ramping mulus dan coklat mengkilat agak kehitaman membuat batang
kejantanan Iding segera membesar di balik celananya. Serasa ingin dia
menjepitkan batang kejantanannya itu di antara paha bocah kecil itu.
Dia mendekati Nday, lalu menegur "Hey Cil! Ikut gue yuk!" Nday yang
sudah 2 tahun berkelana di jalanan Ibukota ini segera mengerti
keinginan remaja yang lebih tua itu. Selama ini Nday bertahan hidup di
jalanan dengan mengemis, mencuri dan memuaskan nafsu birahi para remaja
yang lebih tua dan para jeger yang lebih dewasa.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia mengikuti Iding berjalan ke
belakang gardu listrik dekat stasiun. Tempat itu sepi dan terlindung.
Iding meletakkan dagangannya di tanah, kemudian menyuruh Nday
menurunkan celananya hingga di lutut. Bocah itu rupanya tidak
mengenakan celana dalam, sehingga batang kejantanannya yang sudah
tegang sepanjang 9 cm dengan diameter hampir 2 cm langsung mencuat.
Iding menyandarkan bocah itu di dinding, sambil mengeluarkan perangkat
birahinya dari celah celana pendeknya yang longgar. Lalu dia menindih
anak itu sambil menyelipkan perangkat birahinya yang sudah tegang
sepanjang 12 cm dengan garis tengah 2,5 cm di antara paha Nday.
Secara reflex, Nday segera merapatkan pahanya menjepit erat
perangkat birahi Iding, sehingga remaja yang lebih tua itu mengerang
merasakan suatu kenikmatan yang luar biasa pada perangkat birahinya.
Iding menggoyang pinggulnya memompa batang kejantanannya menggesek paha
Nday yang ramping dan mulus. Makin lama makin cepat Ndaypun
terpejam-pejam dalam kenikmatan ganda. Dia merasakan geli ngilu yang
nikmat tiada tara setiap kali kepala kejantanan Iding menyentuh dan
menggelitik kantung zakarnya, sementara batang kejantanannya yang
terjepit erat di antara perut mereka tergesek-gesek dalam geli ngilu
yang nikmat luar biasa.
Selama 2 tahun melayani kebutuhan sex pria yang lebih tua, Nday
belum pernah merasakan kenikmatan seperti itu. Melihat Nday menikmati
permainan ini, birahi Idingpun makin terangsang. Dia menggiatkan goyang
pinggulnya Nafasnyapun mendengus seperti sebuah lokomotif tua. Dia tak
mampu membendung luapan birahinya. Dipeluknya Nday kuat-kuat dan
didesaknya perangkat birahinya sedalam-dalamnya di antara paha bocah
kecil itu. Dia terkulai lemas di atas tubuh Nday dengan nafas
tersengal-sengal, sementara batang kejantanannya berdenyut menyemburkan
air mani yang hangat dan kental kekuningan membasahi paha dan kantung
zakar remaja kecil itu.
Merasakan hangatnya luapan birahi Iding yang membasahi tubuhnya,
gejolak birahi Ndaypun terpancing. Dia menggigil, kakinya kejang dan
nafasnya memburu. Tiba-tiba dia merasa seperti ingin kencing. Lalu
batang kejantanannya yang mungil itupun berdenyut mengeluarkan cairan
yang hangat, encer dan lengket. Dia melambung dalam suatu kenikmatan
dahsyat yang belum pernah dialaminya seumur hidupnya. Nday sadar bahwa
itulah puncak kenikmatan yang dicari oleh para remaja senior atau pria
dewasa yang selama ini menggunakan tubuhnya untuk kepuasan mereka.
Setelah denyut kenikmatan mereka berhenti, Iding melepaskan Nday dari
pelukannya. "Lu udah bisa muncrat?" tanyanya sambil menyeka tubuhnya
dengan handuk kecil yang diambilnya dari saku celananya. "Ini yang
pertama kali, Bang!" jawab Nday bangga, merasa dirinya telah dewasa.
Idingpun puas telah mendewasakan seorang bocah. Dikeluarkannya dua
helai Rp 1.000 dari sakunya, lalu diberikannya pada bocah gelandangan
itu. "Nih, buat lu jajan!" katanya "Ma' kasih Bang!" jawab Nday sambil
mengenakan celananya. Lalu merekapun berpisah.
Amril, putra Minangkabau yang berusia 17 tahun, adalah teman Iding.
Dia sudah 2 tahun meninggalkan kampungnya akibat tergiur cerita tentang
mudahnya mencari uang di Jakarta. Lagipula, merantau adalah tradisi di
kampungnya. Amril, yang bekerja sebagai kenek Metro Mini P 15, sudah
menyukai permainan sex sejenis sejak masih di kampung. Tradisi di
kampungnya, mengharuskannya tidur di luar Rumah Gadang saat menginjak
akil balig. Maka tiap malam dia tidur di surau bersama para remaja pria
sebayanya. Udara dingin di desanya yang terletak di lereng gunung
membuat mereka mencari kehangatan dengan cara tidur berhimpitan.
Suatu malam, dia tidur dengan seorang teman sebayanya, berpelukan
erat mencari kehangatan. Tanpa sengaja perangkat birahi mereka beradu
tergesek-gesek lalu membesar tegang penuh. Merasakan geli ngilu yang
nikmat, keduanyapun merapatkan tubuh mereka menjepit erat batang
kejantanan mereka lalu menggesek-geseknya sehingga keduanya mencapai
puncak kenikmatan yang dahsyat.
Sejak itu hampir setiap malam mereka mencari peluang melakukan
permainan nikmat yang meletihkan itu. Setibanya di Jakarta Amril sempat
bingung untuk menyalurkan nafsu birahinya itu. Tapi dilihatnya di
jalanan banyak remaja pria, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda,
biasa melakukan permainan itu. Maka, bagi Amril tak ada masalah. Dia
bebas memuaskan nafsunya atas dasar suka sama suka atau dengan imbalan
uang sekedarnya.
Sekitar dua minggu yang lalu, menjelang maghrib, Amril berjalan
pulang ke pondokannya. Dia singgah membeli rokok pada seorang remaja
kecil pedagang asongan di depan stasiun. Jantungnya berdebar melihat
wajah lugu remaja kecil yang manis itu. Rasanya dia belum pernah
melihat anak itu di sekitar sini. "Lu anak baru ya di sini?" tanyanya.
"Baru seminggu Bang!" jawab remaja kecil itu. "Name lu siape?" tanya
Amril lagi. "Ipung Bang!" sahut anak itu. "Gue Amril!" Amril
memperkenalkan diri. Amril duduk di samping remaja kecil itu lalu
menyalakan rokoknya. "Umur lu berape?" tanyanya. "Baru 14 taon," jawab
Ipung. "Udah ngimpi basah dong?" kata Amril. "Ya, udeh!" sahut Ipung
tidak mengerti arah pembicaraan itu. "Suka coli nggak?" Amril terus
mencecar. "Kadang-kadang aje! Kalo lagi pengen!" sahut Ipung makin
bingung. "Kalo gue kasih lu goceng, mau nggak lu gue coliin?" tanya
Amril langsung.
Ipung kaget seolah tak bisa mempercayai pendengarannya "Maksud
abang?" tanyanya dengan jantung berdebar. Dia pernah mendengar bahwa
kehidupan di jalan sangat keras dan remaja kecil sebayanya selalu
menjadi obyek pelampiasan nafsu birahi preman-preman yang lebih dewasa.
Tapi anak muda yang mengajaknya merancap dengan imbalan Rp 5.000 ini
tidak bertampang preman. Usianya mungkin hanya 3 tahun lebih tua dari
dirinya. "Iye, gue coliin lu, lu coliin gue! Udah dapet enak, lu masih
dapet duit!" bujuk Amril. Alasan yang masuk akal menurut Ipung. Uang Rp
5.000 adalah jumlah yang cukup besar untuk hidup di jalanan. Setidaknya
bisa untuk makan 2 hari.
Lagipula, dia biasanya merancap sendiri sedikitnya seminggu 2 x
untuk memuaskan kebutuhan biologisnya. Kalau ada orang yang mau
membayarnya untuk mengeluarkan air mani yang selama ini diumbarnya
secara gratis, mengapa tidak? "Tapi kan cuma coli aja ya Bang?"
tanyanya ragu-ragu. "Iye! Nggak lebih, nggak kurang!" jawab Amril yang
mengerti kecemasan remaja kecil yang baru seminggu terjun dalam
kehidupan jalanan.
Amril membawa pedagang rokok kecil itu ke pondokannya. Setelah
meletakkan kotak rokoknya di sudut ruangan, Ipung duduk di samping
Amril yang sudah bertelanjang bulat. Ipung kaget melihat perangkat
birahi Amril yang tegang mencuat seperti Tugu Monas itu. Amril
menyuruhnya menanggalkan celananya. Ipung menurut. Batang
kejantanannyapun segera membesar, tegang penuh sepanjang 10 cm dengan
diameter 2 cm lebih. Lalu keduanya asyik memainkan batang kejantanan
satu sama lain. Sebentar-sebentar mereka menggelinjang menahan geli
ngilu yang nikmat luar biasa pada perangkat birahi masing-masing.
Ipung yang terpesona pada batang kejantanan Amril yang panjang dan
besar itu mencoba berbagai cara untuk memuaskan remaja yang lebih tua
itu. Digelitiknya bagian bawah benda hangat sebesar pisang tanduk itu
dengan telunjuknya. Ipung membelai kepala kejantanan Amril yang merah
merekah agak kehitaman sehingga Amril menggelinjang menahan geli ngilu
yang nikmat. luar biasa. Cairan bening lekat mulai membasahi kepala
kejantanannya.
Amrilpun melakukan hal yang serupa pada batang dan kepala
kejantanan Ipung sehingga giliran remaja kecil itu yang menggelinjang
menahan geli ngilu yang nikmat tiada tara. Tanpa ada yang memberi
aba-aba, keduanya serentak mengocok batang kejantanan satu sama lain
dalam gerak irama yang sama. Mulanya pelan-pelan lalu makin lama makin
cepat. Amril melambung dalam kenikmatan yang dahsyat. Genggaman jari
jemari Ipung yang lentik dan halus pada alat kelaminnya sangat
merangsang birahinya. Dia tidak bisa membendung luapan birahinya.
Nafasnyapun semakin memburu.
Kakinya kejang. Pinggulnya terangkat. Lalu dia terkapar lemas
bersandar di dinding dengan nafas tersengal-sengal. Batang
kejantanannya berdenyut dalam genggaman Ipung memuntahkan air maninya
yang hangat, membasahi tangan remaja kecil itu. Ipung baru kali ini
melihat orang lain memuntahkan air maninya. Dia menatap pemandangan itu
dengan takjub tanpa berhenti mengocok perangkat birahi Amril yang
seolah tiada henti menyemprotkan semburan demi semburan cairan putih
yang lekat, encer dan hangat.
Dia tak mampu mengendalikan nafsu birahinya. Batang kejantanannya
yang mungil itupun berdenyut-denyut dalam genggaman Amril menyemburkan
air maninya yang segar dan kental kekuningan. Lama mereka duduk lemas
bersandar di dinding menunggu denyut kenikmatan birahi mereka reda.
Amril mengambil handuk lalu membersihkan tubuhnya dan tubuh Ipung yang
berlumuran air mani. Keduanya mengenakan celana mereka lagi "Lu pinter
banget ngocoknya, Pung!" kata Amril memuji. Ipung hanya tersenyum
tersipu-sipu.
Kemudian Amril mengeluarkan selembar Rp 5.000 dari sakunya lalu
memberikannya kepada remaja kecil itu. "Ma' kasih Bang!" kata Ipung
lalu memasukkan uang itu ke saku celananya. "Kapan-kapan gue kenalin lu
sama temen-temen gue! Pasti pade demen sama lu!" kata Amril lalu
membukakan pintu untuk teman barunya itu. Ipung pamit dan berjalan
pulang. dengan perasaan tak menentu. Malu, puas, bingung, merasa dosa,
ingin lagi berbaur dalam hatinya. Tapi dia sadar bahwa ini adalah
bagian dari kehidupan jalanan yang harus dihadapinya.
Tiga hari telah berlalu sejak Iding menjepitkan batang
kejantanannya di selangkangan Nday di balik gardu listrik. Dia gelisah.
Perangkat birahinya mulai terasa gatal, sudah saatnya untuk menyalurkan
nafsu birahinya Suasana malam itu terasa sepi. Mungkin karena hujan
sejak sore, orang enggan keluar rumah. Ketika hujan sudah reda,
Idingpun pergi berjalan menuju bioskop Mulia Agung. Di tempat dingdong,
selalu ada saja anak kecil atau remaja sebayanya yang bisa diajaknya
bersedap-sedap mengadu batang kejantanan.
Arena dingdong di lobby bioskop Mulia Agung juga tampak sunyi
dibanding malam-malam sebelumnya. Beberapa anak kecil, remaja sebaya
Iding maupun pemuda yang lebih tua terlihat asyik menguji ketrampilan
mereka melawan mesin-mesin yang dikendalikan komputer itu. Lainnya
berkerumun di sekitar pemain unggulan yang bisa mencapai skor tinggi.
Iding bergabung di tengah kerumunan itu, memperhatikan wajah-wajah
manis di sekitarnya, mencari teman main yang menarik. Pandangannya
tertuju pada Imron yang sedang duduk menyendiri di dekat pintu keluar.
Dihampirinya bocah kecil itu. Iding memang sering melihatnya
berkeliaran di sekitar Proyek Senen, tapi dia tidak tidak pernah tahu
nama bocah itu. "Cil! Ikut gue!" ajaknya dengan sebutan "Cil", yaitu
kependekan dari "anak kecil". Tanpa ragu, Imron mengikuti remaja yang
lebih tua itu. Dalam kehidupan jalanan, kalau ada seorang remaja atau
pemuda senior mengajak remaja yang lebih muda atau bocah kecil, hanya
ada satu tujuan, yaitu ingin melampiaskan nafsu birahi mereka.
Para remaja junior harus selalu siap melayani kebutuhan para
seniornya itu. Selain untuk memuaskan nafsu birahi mereka sendiri,
kadang-kadang ada imbalan uang sekedarnya. Kalau kebetulan dapat senior
yang kasar, bukan kenikmatan atau uang yang mereka dapatkan. Hanya rasa
nyeri pada dubur dan sakit hati akibat pelecehan yang mereka alami.
Tapi semua anak jalanan menyadari bahwa itu adalah risiko yang harus
mereka hadapi. Di kalangan bocah jalanan di kawasan Senen itu, Iding
dikenal sebagai senior yang baik.
Dia selalu memberi imbalan sekedarnya setelah menggunakan jasa para
remaja yang lebih muda. Maka Imronpun tidak ragu mengikutinya. Iding
membawa Imron ke WC di gedung bioskop itu. Setelah mengunci pintu, dia
menurunkan celana jeansnya hingga ke lutut lalu duduk di kloset.
Perangkat birahinya sudah tegang penuh mencuat di pangkal pahanya.
Imron berlutut di lantai memainkan batang kejantanan yang lumayan
panjang dan besar itu. "Sepong Cil!" bisik Iding dengan suara gemetar
akibat birahi yang membara. Imron segera menjilati kepala kejantanan
Iding.
Remaja yang lebih tua itu menggelinjang dalam kenikmatan yang
dahsyat. Kepala kejantanannya langsung basah oleh cairan bening dan
lekat. Lalu Imron menghisap perangkat birahi Iding seperti anak kecil
menyedot Es Mambo. Iding menggelepar seperti ayam sekarat merasakan
geli ngilu yang nikmat luar biasa. Iding tak mampu lagi membendung
luapan birahinya. Dilepaskannya air maninya dalam mulut Imron. Begitu
dahsyatnya luapan syahwat Iding, sehingga remaja kecil itu hampir
tersedak menerimanya. Tapi dia mampu mengendalikan keadaan. Direguknya
air mani Iding yang hangat, encer dan terasa agak asin itu tanpa
berhenti menghisap perangkat birahi yang berdenyut itu seolah ingin
menguras habis sisa air mani dalam tubuh remaja yang lebih tua itu.
Setelah denyut kenikmatan Iding berakhir, barulah dia melepaskan
batang kejantanan yang mulai layu itu dari mulutnya. Iding bangkit lalu
bertanya "Lu pengen muncrat nggak?" Imron menggelengkan kepalanya.
"Lagi capek Bang! Hari ini udah 2 x muncrat!" jawabnya. Setiap hari
Imron bisa melayani sedikitnya dua orang remaja senior. Tadi pagi,
menjelang subuh, dia telah menyalurkan kebutuhan biologisnya sendiri
melalui dubur seorang bocah penyemir sepatu yang berusia 10 tahun.
Siang harinya, seorang kuli pasar berusia 20 tahun, memerlukan jasanya.
Pemuda itu berbaik hati mau mengocok perangkat birahi Imron sambil
memompa batang kejantanannya menggesek saluran pelepasan bocah
gelandangan itu. Imron merasa terlalu letih dan lemas untuk
mengeluarkan air maninya sekali lagi pada hari ini. Lalu Iding
mengeluarkan dua lembaran Rp 1.000 dari sakunya. "Ini buat lu, Cil!"
katanya. Imron menerimanya sambil berucap "Terima kasih Bang!" Lalu
keduanya keluar dari WC gedung bioskop itu.
Hari demi hari berlalu, tanpa ada perubahan yang berarti bagi para
remaja jalanan itu. Mereka terus berjuang demi bertahan hidup di rimba
belantara metropolitan ini. Mereka terpaksa harus mengemis, mencuri
kecil-kecilan bahkan menjual diri untuk mendapat sesuap nasi. Bagi yang
punya kemauan dan modal, mereka menyemir sepatu, berdagang rokok
asongan, menjajakan koran atau mengamen. Itupun dengan risiko dicela
orang, diusir Satpam dan diuber Kamtib.
Pada usia yang relatif muda itu mereka sadar bahwa mereka tak bisa
mengharapkan belas kasihan masyarakat untuk memperbaiki nasib mereka.
Iding pernah membaca di media cetak yang dijualnya berita tentang suatu
seminar internasional mengenai anak-anak jalanan. "Ah, gombal! Ini kan
orang-orang yang bisanya cuman ngomong doang! Daripade duitnye buat
bikin seminar, mendingan dibagiin ame kite! Buat modal dagang keq, buat
nyekolain si Nday keq! Pokoknya ade hasilnye!" kata Iding sambil
memperlihatkan berita itu pada teman-temannya. Yang lainnya sependapat.
Mereka nyaris tak pernah menangis menghadapi berbagai tantangan dalam
kehidupan mereka di jalanan.
Tetes air mata seolah pantangan bagi mereka. Lagipula, air mata
mereka mungkin sudah habis. Hanya anak-anak yang lebih muda adakalanya
menitikkan air mata mereka merindukan kehangatan belaian kasih sayang
yang mereka butuhkan. Tapi umumnya mereka merasa bahagia, hidup bebas
tanpa pengawasan. Mereka masih bisa tertawa, mabuk AO, berjoged
dangdut, becanda dengan teman-teman senasib dan yang terpenting bebas
main adu titit untuk menyalurkan nafsu birahi mereka sepuasnya, tanpa
risiko kehamilan!
Main adu titit adalah kebutuhan utama selain makan dan minum. Main
adu titit merupakan hiburan gratis bagi mereka, sebab melalui
kenikmatan itu sejenak mereka dapat melupakan pahit dan kerasnya
kehidupan jalanan. Luapan air mani mereka melambangkan lepasnya beban
batin yang terpendam di dalam jiwa mereka. Permainan sex sejenis dengan
teman senasib juga mempererat solidaritas antara sesama anak jalanan.
Lagipula, enak banget sih!
TAMAT