Aku adalah seorang remaja SLTA tahun terakhir.
Seperti remaja pada umumnya, aku adalah remaja yang cukup gaul dan
senang bercanda. Apakah itu dengan teman-teman cewek dan juga
teman-teman cowok. Oh, ya. Selain itu juga, aku termasuk salah satu
dari 3 anak terpintar dikelas yang selalu memperebutkan ranking 1
sampai 3 dengan 2 orang temanku yang lainnya. Aku mempunyai orang tua
yang cukup mampu untuk mendukung hidupku hingga aku mandiri nantinya.
Well, benar-benar suatu gambaran kehidupanku yang sempurna, kan?
Namun, pada saat-saat terakhirku di SLTA itulah yang menjadi awal
dari segala pengetahuanku yang menyeluruh mengenai diriku sendiri.
Bahwa diantara kesemua kebahagiaan dan kepintaran dan kekayaan yang
kumiliki, masih ada sesuatu yang menjadi kekurangan dalam hidupku.
Yaitu bahwa aku tidak mempunyai pacar. Sebenarnya sangat sederhana
malah.
Jika diceritakan, aku cukup populer di SLTA-ku karena aku termasuk
murid kesayangan guru-guru dan bahkan Kepsek SLTA-ku. Banyak yang tahu
bahwa aku anak orang yang cukup kaya yang tidak sombong, pintar dan
kocak. Dan karenanya, banyak diantara mereka yang mengenalku, khususnya
para cewek, menginginkan menjadi pacarku. Kurang apa lagi?
Disitulah, perlahan namun pasti, aku sedikit demi sedikit memahami
diriku sendiri. Walaupun banyak dari mereka yang menyatakan cinta,
namun semuanya kutolak dengan tegas. Alasannya bahwa mereka adalah
teman-temanku, dan aku tidak ingin kehilangan persahabatan hanya karena
cinta anak SLTA. Pada awalnya kukira begitu. Dan, yah, mungkin
begitulah.
Cerita ini sebenarnya dimulai pada waktu kami semua, para pelajar
mengikuti kegiatan extra kurikuler yang diadakan sekolah kami. Pada
masa itu kamu semua digembleng dengan berbagai tambahan ilmu yang
diperlukan dan juga untuk menjadikan kami sebagai pribadi yang tidak
hanya tahu satu hal saja, namun menjadi kreatif dalam berbagai hal
dengan pengetahuan yang memadai, tentu saja.
Seorang teman, sebutlah namanya Opay, adalah salah satu temanku
(tidak begitu dekat, tapi tetap teman) yang juga mengikuti program
tersebut. Dia tinggalnya di satu kota jauhnya dari sekolahku. Jadi pada
dasarnya setiap hari sewaktu berangkat sekolah, Opay selalu naik bis
setidaknya 20-30 menit untuk sampai ke sekolah. Sementara itu, untuk
program extra kurikuler kami yang menuntut semua siswa-siswi yang
mengikuti untuk datang setidaknya pukul 05.30 pagi, akan agak
menyulitkan baginya. Karena itu seijin dengan ortuku, maka Opay, selama
seminggu program extra kurikuler tersebut, menginap di rumahku.
Nah, sebagai tambahan, pada dasarnya aku adalah seorang remaja
cowok yang menyukai sesama jenis. Pada awalnya hal ini tidak kusadari
walaupun tanda-tandanya telah nampak: senang melihat wajah tampan,
tubuh yang fit, pria bertelanjang dada, dan sejenisnya. Hanya karena
pada saat itu pengetahuanku mengenai seksologi masih sangat minim, aku
menganggapnya sebagai suatu kekaguman akan machoisme.
Kejadiannya dimulai pada hari ketiga saat Opay menginap dirumahku.
Hari itu luar biasa panasnya sehingga Opay, yang juga tidur sekamar
denganku, dan yang palig parahnya, seranjang denganku (ranjangku ukuran
Queen Size) memutuskan untuk tidur hanya menggunakan CD. Oh, ya, aku
belum mengatakan bahwa aku sedikit pemalu untuk urusan buka-bukaan
bahkan di depan keluargaku sendiri. Jadi bisa dibayangkan apalagi di
depan temanku. Walaupun malam itu rasanya luar biasa panas, namun aku
tetap menggunakan baju kaos berlengan yang lebih tipis dan celana
setengah-panjang yang melewati lutut.
Oh, ya, perlu kutambahkan juga bahwa temanku yang satu ini, yang
tinggal di kota sebelah, sebenarnya tinggal di'desa'nya kota tersebut.
Keadaan ekonominya juga bisa dikatakan pas-pasan walaupun dia masih
membantu pekerjaan orang tuanya. Pekerjaan kasar, tentu saja. Dan
karena itu, untuk anak seumurnya yang sudah bekerja sekeras itu, tentu
saja secara tidak langsung melatih tubuhnya. Sehingga perawakannya yang
tinggi-sedang tampak pas dengan kedua lengannya yang kekar dan bahu
yang bidang. Belum lagi dada yang berotot dan perut rata, serta kaki
yang kuat. Tambah lagi, wajahnya juga cukup tampan untuk seorang
pribumi, wajah persegi dengan rahang yang kokoh, hidung yang agak
mancung, dan alis mata tebalnya berpadu dengan matanya yang jernih dan
bulu matanya yang panjang dan lentik. Bisa dibayangkan?
Hasilnya, malam itu aku sulit untuk tidur. Gelisah. Karena
setidaknya ada perasaan untuk terus menatap cowok yang tertidur lelap
disebelahku ini. Apalagi dengan hanya menggunakan celana dalam dan
posisi tidurnya yang sembarangan, banyak yang bisa dilihat. Namun pada
akhirnya aku memutuskan untuk membelakanginya daripada aku tidak bisa
tidur dan terlambat bangun keesokan paginya.
Tengah malam malam itu, desakan ingin kekamar kecil membuatku
terbangun. Masih dengan setengah mengantuk setengah sadar, aku berjalan
sempoyongan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Mungkin kata
cukup mampu agak sedikit merendah jika dilihat dengan adanya kamar
mandi pribadi di setiap kamar, apalagi kamarku ada di lantai 2. Aku
tidak menyadari bahwa pintunya tidak tertutup dan dari celah pintu itu
terlihat cahaya lampu yang dinyalakan, yang berarti ada orang
didalamnya.
Aku langsung masuk menerobos kedalam. Dan dalam keadaanku yang
setengah mengantuk, langsung terkesiap sadar saat melihat Opay dalam
keadaan telanjang berhadapan denganku. Kedua tangannya berada pada
kejantanannya yang berdiri tegak. Saat itu erangan nikmatnya berubah
menjadi kata 'oh' pelan. Pemandangan yang mengejutkan itu membuatku
tidak bisa berkata apapun. Aku langsung membalikkan badanku dan kembali
berbaring ke atas tempat tidur. Aku merasakan wajahku memanas.
Pikiranku dipenuhi dengan sosok tubuhnya yang tegap dan berisi,
kejantanannya yang besar sedang berdiri tegak, erangannya yang penuh
kenikmatan.
Aku mendengarnya kembali ke tempat tidur beberapa saat kemudian.
Aku sengaja membelakanginya supaya aku tidak perlu melihat wajahnya dan
dia tidak perlu melihat wajahku. Aku tahu dia sedang melakukan sesuatu
dan sepertinya itu memalukan dan bahwa kedatanganku mengganggunya. (Aku
pada saat itu tidak tahu tentang masturbasi dan pengetahuanku tentang
seksologi masih minim sekali, walaupun aku sadar bahwa untuk beberapa
lama sekali aku akan terbangun tengah malam dengan keadaan 'basah').
Kami terdiam lama sekali. Aku tidak bisa tidur dan aku yakin
demikian juga dengan Opay. Aku tetap berkeras untuk pura-pura sudah
tidur dan tidak peduli walaupun rasa ingin tahu mulai tumbuh semakin
besar di dadaku.
"Wan," panggilnya pelan.
"Dah tidur?"
"He-eh." jawabku bodoh, malahan ketahuan bahwa aku belum tidur.
"Eh," katanya agak kikuk.
"Yang baru jak tuh.. Itu.."
"Aku liat kamu agik kencing, kok." kataku pura-pura.
"Ngape?"
"Eh, bukan." katanya malu. Lalu dengan berani Opay berkata, "Aku tok agek onani."
Akal sehatku menahanku untuk tidak membalikkan badanku menghadap ke
arahnya. Namun rasa keingintahuanku yang semakin berontak mengalahkan
akal sehatku. Aku membalikkan tubuhku dan menghadap ke arahnya.
"Ngape tuh?"
"Kau ga' tau ke ape tu onani?" tanya Opay terkejut.
"Tadak." lalu aku memberanikan diri berkata, "Tapi aku nganggu, ke?" Opay mengangguk.
"Maaf ie.."
"Tadak ngape." katanya sambil cengengesan.
"Baro jak tengah jalan."
"Belom abis gek?" tanyaku terkejut.
Lalu kami terdiam agak lama. Tidak tahu harus mengatakan apapun
itu. Aku secara tidak sadar melirik selangkangannya. Kejantanannya
masih berdiri tegak didalam CD-nya.
"Maseh kepingin onani, ke?"
"He-eh."
"Ngape ndak ke-WC agek?" tanyaku bodoh.
"Ndak-lah, Wan." kali ini kelihatannya Opay yang memerah wajahnya.
"Kallak-pun bise."
Keberanian yang semakin memuncak membuatku berani bertanya, "Ape sih rasenye onani?"
Opay kelihatan kaget.
"Kau ndak pernah?" Aku menggelengkan kepalaku.
"Rasenye.." Opay kelihatan sedang mempertimbangkan jawabannya.
"Nyaman."
"Nyaman macam mane?"
"Hah?" katanya bodoh.
"Eh," suaranya jadi ragu-ragu.
"Gimane bilangnye, ye?" Opay terdiam sesaat.
"Cobe jak sorang."
"Eh," wajahku langsung terasa panas.
"Nyobe sorang?" kataku gugup.
"Tapi carenye?"
"Kite bedua onani." Opay beringsut mendekat. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku.
"Kubantu. Akupun kepengen onani. Tadek baro setengah jalan, sih."
"Eh," kataku ragu.
"Mo ndak?" katanya dengan suara yang lebih mendesak.
Hanya perlu sedetik yang serasa seabad bagiku untuk mengatakan, "Boleh."
Opay lalu naik keatas tubuhku. Dengan tangan gemetaran, entah
karena gugup atau nafsu, dia membuka celanaku. Dia mengusap-usap bagian
kejantananku yang masih tertidur dan yang masih tertutup CD. Perlahan
perasaan nikmat menjalar keseluruh tubuhku dan membangkitkan
kejantananku. Dia tertawa. Dia lalu membuka CD-ku dan kedua tangannya
langsung memegang kejantananku setelah menyingkirkan CD-ku, lalu
meremas, menggosok dan memijatnya. Dalam keadaan tegang seperti itu,
rasa nikmat dan nyaman yang kurasakan semakin besar. Suara-suara yang
belum pernah kudengar oleh telingaku sendiri keluar dari dalam
tenggorokanku. Aku memejamkan mataku.
Beberapa saat kemudian aku melihat kebawah saat aku merasakan Opay
menempelkan kejantanannya pada kejantananku dan menggunakan kedua
tangannya untuk meremas, memijat dan menggosok. Kejantanan kami tidak
begitu jauh berbeda dalam ukuran panjang. Tapi dalam ukuran diameter,
sepertinya milik Opay sedikit lebih besar. Kami mengerang dan mendesah.
"Nyaman, Pay." kataku dalam desahanku.
Dia tertawa gugup.
"Nyaman, ke?" Dia melepaskan kejantanannya dari diriku.
Aku melihat cairan bening di ujung kejantananku sendiri.
"Mo yang lebih nyaman agek?" tanyanya. Aku mengangguk.
Sesaat berikutnya, dengan sangat mengejutkanku, Opay memasukkan
kejantananku dalam mulutnya, mengulum, menghisap dan menjilat.
Tangannya masih bekerja, satu pada kejantananku dan satu lagi pada
kedua 'bola'ku. Ini membuatku sedikit kelojotan. Punggungku melengkung
nikmat. Nafasku makin terengah-engah. Kemudian yang kutahu, Opay duduk
diatas dadaku dan menyodorkan kejantanannya padaku.
"Mo nyoba, ndak?" kedalaman matanya tidak dapat kuselami.
Anehnya, tanpa rasa kikuk, apalagi geli, aku membiarkan saja
kejantanannya dimasukkan kedalam mulutku. Aku meniru sebaik mungkin
seperti apa yang sudah dilakukannya padaku. Pinggulnya bergerak dalam
satu irama. Makin lama aku merasakan kejantanannya semakin hangat dan
berdenyut keras, dan pada akhirnya Opay melenguh nikmat berkepanjangan.
Pada saat yang bersamaan sesuatu yang sangat hangat memenuhi mulutku.
Tanpa tahu apapun maksudnya itu, aku yang tidak bisa memuntahkannya
keluar karena kejantanannya memenuhi mulutku, aku menelannya. Rasa yang
aneh, campuran antara aroma yang mentah dan.. Sulit untuk digambarkan.
"Kau telan ke, Wan?" tanya Opay saat dia sudah menarik kejantanannya yang lemas keluar dari mulutku. Aku menggangguk.
Dia tertawa pelan lalu menempelkan bibirnya ke bibirku dan
menciumku dengan mesra. Lagi-lagi aku tidak merasa kikuk bahkan geli.
Dia lalu mengubah posisi sehingga aku ada di atasnya. Aku dalam posisi
merangkak diantara kedua kakinya dengan kejantanan yang masih menegang.
"Dah, abes ke?" tanyaku bingung.
Memang semua yang terjadi terasa nikmat, tapi aku tidak sampai seperti Opay tadi.
"Blom" katanya.
Dia membuat posisi kami berdua sedemikian rupa sehingga mudah untukku menyatukan diri dengannya.
"Masokkan, Wan."
"Apa?" kataku mengulang tidak percaya, padahal aku mendengarnya dengan jelas.
"Masokkan jak."
Aku pun menuruti kata-katanya. Setelah beberapa saat mencoba, tubuh
kami berdua pun menyatu diiringi dengan desahan nikmat Opay. Dia
memintaku untuk menciptakan iramaku sendiri. Dan, langsung saja,
kenikmatan yang berkali-kali lipat lebih besar serasa menyengat seluruh
tubuhku saat aku mengikuti gerakan iramaku. Aku sempat melihat
kejantanan Opay yang menegang kembali sebelum aku memejamkan mata untuk
menikmati kenyamananku yang sedang kurasakan.
Seperti minum air laut, makin diminum makin merasa haus, walaupun
terasa semakin berat, aku semakin mempercepat iramaku mengikuti
naluriku. Opay mendesah dan mengerang tidak keruan. Satu tangannya
mneggosok kejantanannya dengan cepat. Sementara semakin cepat aku
bergerak, semakin besar rasa nikmat yang menumpuk didalam perutku yang
serasa mendesak untuk dilepaskan.
Tidak lama kemudian, kegilaan menyergapku secara mendadak. Aku
membuat suara-suara yang mengerikan yang aku sendiri belum pernah
mendengarnya. Aku melepaskan tenaga di dalam perutku yang mendesak
keluar seiring dengan melambatnya iramaku. Samar-samar aku mendengar
Opay mengerang. Aku membuka mataku dan melihat tangannya pada
kejantanannya yang sekeras baja, sementara pada ujungnya tersembur
cairan putih kental dalam jumlah yang cukup banyak. 'Itukah yang tadi
kutelan?' tanyaku dalam hati.
Malam itu kami mengulangi hal yang sama sebanyak mungkin yang kami
bisa, walaupun pada akhirnya kami terlambat bangun keesokan harinya.
Kami terus melakukan hal ini sesering mungkin sesudahnya hingga kami
menamatkan SLTA kami dan baginya tidak ada alasan untuk datang kekota
karena sekolah kami telah usai. Aku sendiri harus pindah karena orang
tuaku akan menguliahkanku di kampus terbaik menurut ukuran saku mereka.
Kami masih sempat melakukannya beberapa hari sebelum keberangkatanku
sebagai hadiah kenang-kenangan tamat SLTA, begitu katanya.
Namun yang jelas hal itu membekas sangat dalam didalam hatiku.
Sepanjang waktu aku selalu mengingatnya sebagai 'onani berdua dengan
teman', bahkan sampai aku pindah kekota besar tempat aku kuliah
nantinya. Dan secara naluriah aku tahu bahwa hal ini bukan hal yang
bagus untuk diceritakan karena akan sedikit memalukan.
Dan begitulah awal mulanya. Langkah berikut yang akan kuambil akan merupakan langkah penentu bagiku dan juga hidupku.
E N D