Satu masa telah terlewati
Benci dan rindu merasuk di kalbu
Ada apa dengan cintaku
Sulit untuk aku ungkap semua
Ini adalah kisah lanjutan dari kedua kisahku sebelumnya. 'Kenangan Masa
Lalu' dan 'Aku, Pamanku Dan Sepupuku'. Sebelumnya aku mau berterima
kasih atas respon yang luar biasa dari para pembaca. Thanks banget. Aku
juga mau berterima kasih untuk 21Tahun yang mau menampilkan kisahku
ini. Mungkin aku sedikit naïf dengan cerita ini, tapi sekali lagi mohon
maaf jika "mungkin" tidak se'hot' dengan cerita lainnya karena ini
kisah asli. Kuambil kisah ini dari buku harianku yang sesungguhnya
ingin kulupakan dan kubuang. Masa-masa indah yang menyakitkan. Yang
coba kurangkum.
****
Selama kuliah, aku dapat mengatasi gejolak hati ini. Aku sibuk
dengan pekerjaan dan mengajar di bimbel. Bahkan aku berusaha untuk
menyukai seorang wanita, yang akhirnya kandas. Tahun 1999 aku masuk
sebuah organisasi kepemudaan (bukan organisasi teroris loh).
Suatu hari seseorang yang tidak aku kenal tiba-tiba menyodoriku setumpuk brosur.
"Eh.. Kamu, bagiin brosur neh"
Aku kaget karena tidak mengenalnya. Bahkan aku dibuat kesal saat
itu karena dia seakan-akan memerintah orang seperti pelayannya sendiri
sedangkan saat itu aku ingin pulang.
"Dasar tuh orang" pikirku sambil tetap membagikan brosur.
Setelah hampir 20 menit kulihat dia tidak ada.
"Wah, dia mau lepas tanggung jawab ya" pikirku lagi. Aku segera
membawa sisa brosur dan kuberikan ke orang lain yang juga sedang
membagikan brosur. Aku beralasan ingin balik pulang.
Seminggu kemudian aku ditugaskan didaerah utara Jakarta (maaf
dirahasiakan). Saat turun dari taksi, aku segera masuk dalam ruangan.
Kuberikan jabat tangan dengan orang-orang di sana sambil mengenalkan
diriku hingga aku tertegun saat seseorang juga memberikan jabat tangan.
Ya, orang yang sok itu. Ia tersenyum padaku.
"Oh, kamu yang bantuin aku waktu itu ya" katanya "Namaku Alex"
Sebenarnya aku agak kesal tapi saat melihatnya tersenyum, panas dihati jadi turun. Kusodorkan tanganku untuk berjabat tangan.
"Gunawan" kataku..
Saat sedang makan siang, ia duduk disebelahku. Ia bercerita tentang
dirinya dan akupun terlibat dengan pembicaraannya. Kemudian ia
menawarkan agar saat pulang nanti bisa naik motor dengannya. Kupikir,
kenapa nggak? Bisa menghemat ongkos taksi.
Itulah awal perkenalan kami. Umurnya saat itu masih 26 tahun
sedangkan aku 21 tahun. Dia orang Chinese, berasal dari Singkawang.
Sifatnya periang, sanguinis, walaupun umurnya 5 tahun lebih tua dariku
tapi kadang masih kekanak-kanakan. Selama enam bulan pertama perkenalan
kami, aku tidak memiliki perasaan yang sangat khusus. Aku anggap dia
sebagai seorang kawan yang baik. Kami selalu pergi dan pulang bersama.
Maklum, waktu itu aku belum memiliki kendaraan, sehingga kalau pergi
maka dia yang menjemput dan pulang diantar. Pakai kuda besi lagi
(motor, istilah yang ia buat), jadi lebih cepat. Kalau dia yang bawa
motor, maka aku duduk dibelakang sambil memeluk pinggangnya, seperti
orang yang lagi pacaran.
Kadang kusenderkan tubuhku rapat dipunggungya. Kadang, kalau lagi
iseng, kuraba dadanya. Dia merasa geli. Atau kuletakkan tanganku
dipahanya. Kadang dia berkomentar "Ntar tegang nih". Aku tertawa. Kalau
aku yang bawa motor, maka giliran dia yang suka memegang dada dan
perutku. Kalu kami pergi kemall atau rstoran, ia mengandeng pingganku
dan aku memegang pundaknya. (karena dia lebih pendek dariku)Aku sangat
senang bisa berkenalan dan menjadi teman baginya, tapi bisakah
bertahan?
Dia selalu bercerita banyak tentang kehidupan masa lalunya.
Sungguh, kehidupannya penuh dengan wanita. Kulihat dari fisiknya, ia
lebih pendek sedikit dari aku, tapi wajahnya tampan. Pantas saja
dikejar-kejar. Mirip Andy Lau sih, cuman agak pendek.
Aku sangat senang jika ada orang yang mau bercerita tentang dirinya
kepadaku dan memberikan kepercayaannya kepadaku. Dia melakukannya. Dia
bercerita tentang kehidupan masa lalunya saat di Batam dan Singapura.
Dia sering bermain dengan banyak wanita, bahkan Tante-Tante maupun
pelacur di sana.
"Wah, anak ini straight banget", pikirku.
Dia juga bercerita kalau ada kesempatan maka akan melakukannya
dengan berbagai tipe wanita didunia. Kami saling bercerita tentang
apapun, bahkan sampai ke panjang penis dan jenis CD segala. Wah, tidak
ada sesuatu yang ditutupi darinya. Aku berusaha agar ia tidak tahu
bahwa aku gay.
Desember 2000
Saat itu kami sedang mempersiapkan sebuah acara ke daerah puncak.
Aku dan Alex sebagai tim pertama yang harus datang ketempat penginapan.
Jadi tim akomodasilah. Jadi kami berangkat pukul dua siang dari
Jakarta. Setelah sampai di puncak, kami mempersiapkan segala
sesuatunya. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku dan dia
cukup lelah.
Kami berbaring di atas kasur. Kulihat dia sedang kecapean. Kulirik
wajahnya. Cukup tampan. Entah kenapa aku senang jika berada dekat
dengannya Merasa tenang dan damai.. Tapi aku tidak mau menunjukkan
perasaanku itu karena aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengubah
apa yang sudah kulalui. Kulirik lagi dia. Dia tersenyum. Aku merasa
senang. Itulah saat pertama kali kurasakan bahwa aku sangat sayang
padanya, bukan karena ketampanannya atau bodynya, tapi karena dia
seorang yang baik hati.
April 2001
Aku jatuh sakit dan harus masuk rumah sakit karena demam berdarah.
Kulihat jam tanganku. Ah, masih setengah tiga siang. Masih lama jam
besuknya. Tiba-tiba kulihat seseorang berdiri didepan pintu. Aku
langsung tersenyum. Alex!
"Gimana bos! Enak nggak nginep di rumah sakit?" candanya.
"Mana enak. Apalagi tiap malem meriang. Kaya mau mati rasanya" seruku.
"Jangan gitu. Entar aku kehilangan nih. Oh, ya. Aku nggak tahu mau
bawa apa? Habis kalau bawa buah takut nggak boleh. Ntar kalau bawa yang
laen, kamu malah nggak boleh makan" candanya lagi.
"Nggak usahlah. Udah dijenguk dan temenin juga syukur. Kok bisa masuk? Kan belum jam besuk?" tanyaku heran.
"Iya dong, Alex!". Aku tersenyum. Dasar sok jagoan, tapi aku seneng.
"Kata orang sih kalau sakit ginian minum air yang banyak sama pocari juga" kataku lagi.
Kemudian kami terlibat dalam pembicaraan. Aku sangat senang karena
ia mau menemaniku. Aku tahu ia orangnya sibuk. Saat datang ke Jakarta,
ia tidak punya apa-apa. Saat pertama berkenalan dengankupun, ia
memiliki banyak hutang karena harus membuka toko di Mangga Dua. Tapi
sekarang, usahanya tambah maju sehingga ia sibuk sekali. Dan yang lebih
mengherankan lagi, dia orangnya super cuek. Apalagi kalau sama
teman-temannya yang lain. Dia kadang tidak peduli dengan keadaan
teman-temanku yang lain. Tapi, kenapa denganku tidak? Ia menemaniku
sampai jam besuk tiba. Ia bilang kalau sudah ada yang datang untuk
menemani aku, dia baru pulang. Thanks man!
Keesokan harinya ia kembali datang pada jam yang hampir sama dengan
kemarin. Aku kaget dibuatnya. Dia bawa pocari yang banyak dan aqua
besar beberapa botol. Wah, perhatian bener dia.
"Pengen buat aku kembung ya?" kataku.
"Mau sembuh nggak? kalau kagak, diambil lagi nih!" serunya.
"Oke boss, tengkyu yee" jawabku senang.
"Oh, ya. Biar malem kamu nggak kesepian dan temenin meriangmu, nih, kubawa walkman sama beberapa kaset".
Kemudian ia menyodorkan sebuah bungkusan. Didalamnya terdapat
walkman Sonny kepunyaannya dan beberapa kaset. Ah, dia memang baik!
Kalau saja dia tahu bahwa aku menyukainya.
Juni 2001
Kami berdua pergi ke Surabaya dalam rangka menghadiri seminar. Aku
dan dia sudah siap-siap di Stasiun Gambir pada jam 8 malam. Kami naik
Argo Bromo Anggrek yang memerlukan perjalanan kira-kira 10 jam. Di
dalam kereta kami banyak bercerita dan bercanda. Sekitar jam 12 malam
kami berdua sudah kelelahan. Sementara AC kereta cukup dingin. Saat itu
kami berdua menghangatkan badan dengan saling berdekatan. Badan kami
sudah tertutup selimut. Tanpa terasa kepalaku sudah berada dipundaknya,
kulihat dia tidak keberatan.
Akupun tertidur dipundaknya, kereta sudah memasuki stasiun pasar turi.
Kulihat jam ditanganku menunjukkan pukul limaan. Kami segera turun dan
menuju ke hotel yang memang sudah disiapkan. Sebuah hotel bintang
empat. Ah, sebuah kamar yang nyaman dengan sebuah kasurnya yang empuk.
Siapa lagi kalau bukan Alex. Setiap melihat kasur yang empuk, ia segera
melompat keatasnya, melompat-lompat seperti anak kecil, lalu
mengacak-acak tempat tidur itu. Aku tertawa dibuatnya. Setelah itu, ia
bersiap untuk mandi.
Jantungku berdegup saat ia melepaskan seluruh pakaiannya kecuali CD
birunya tonjolan di CDnya membuatku tertegun. Dadanya yang bidang
membuat darah ini serasa mengalir lebih cepat. Kucoba untuk curi-curi
pandang namun takut kalau ia mengetahuinya. Aku hanya menelan ludah.
Seharian kami berada di luar hotel. Baru pulang lagi saat hari
sudah malam. Aku melepas lelah sambil mandi lalu menonton TV. Ia juga
sudah selesai mandi. Saat itu rasanya aku ingin tidur. Ngantuk sekali.
Kucoba baringkan diri dikasur. Tak lama ia juga baringkan dirinya
dikasur. Aku dekatkan kepalaku didadanya. Kembali ia tidak keberatan.
Kepalaku ada di atas dadanya. Kepeluk ia seperti guling. Kudekap dan
rasanya tak ingin kulepas. Ia diam saja. Kurasakan tonjolan dikedua
pahanya. Ah, seandainya dia gay! Aku tidak melancarkan apapun setelah
itu. Hanya memeluknya erat. Aku tidak berbuat apa-apa kecuali tidur
sampai pagi.